Kalau mendengar islam di Myanmar pasti lebih dikenal dengan islam rohingya. Sebenarnya islam di Myanmar ada beberapa tempat bukan hanya di rohingnya. Namun komunitas islam tersebut tidak terlalu menonjol. Untuk lebih jelasnya saya akan bahas mengenai sejarah perkembangan islam di Myanmar dari beberapa sumber yang saya kutip.
Bermula dari abad ke 7, para pedagang Arab datang dari Madagaskar melakukan perjalanan ke Cina melalui kepulauan India Timur, berhenti di Thaton dan Martaban. Orang laut Bago, mungkin menjadi Muslim, juga tercatat oleh para sejarawan Arab abad ke 10. Mengikuti perjalanan ini, pelaut dan tentara Muslim Burma dilaporkan telah melakukan perjalanan ke Melaka selama pemerintahan Sultan Parameswara pada abad ke 15. Dari abad ke 15 hingga 17, ada beberapa catatan dari para pelaut, pedagang, dan penduduk Muslim Burma tentang seluruh pesisir Burma : pantai Arakan, (Rakhine), delta Ayeyarwady dan pantai dan kepulauan Tanintharyi. Pada abad ke 17, Muslim menguasai perdagangan dan menjadi kuat. Mereka diangkat menjadi Gubernur Mergui, Raja Muda Propinsi Tenasserim, Penguasa Pelabuhan, Gubernur Pelabuhan dan Shahbandar (para pegawai pelabuhan senior)
Agama Islam pertama kali tiba di Myanmar pada tahun 1055 yang datang ke delta Sungai Ayeyarwady Burma, yang terletak di pantai Tanintharyi dan di Rakhine bermula pada abad ke 9, sebelum pendirian imperium pertama Burma oleh Raja Anawrahta dari Bagan.Para saudagar Arab yang beragama Islam ini mendarat di delta Sungai Ayeyarwady, Semenanjung Tanintharyi, dan Daerah Rakhin.Kedatangan umat Islam ini dicatat oleh orang-orang Eropa, Cina dan Persia.Populasi umat Islam yang ada di Myanmar saat ini terdiri dari keturunan Arab, Persia, Turki, Moor, Pakistan dan Melayu.Selain itu, beberapa warga Myanmar juga menganut agama Islam seperti dari etnis Rakhin dan Shan.
Dalam tulisan-tulisan pelaut Arab dan Persia pada masa itu terdapat catatan tentang Burma. Ibn Khordadhbeh, Sulaiman, Ibn al-Faqih dan al-Maqdisi yang melintasi kawasan ini pada abad ke-9 dan 10 M telah mencatatkan aktivitas pedagang-pedagang Islam di Burma ketika itu. Diantara mereka ada yang singgah di burma untuk berdagang dan ada pula yang menanti angin sebelum meneruskan pelayaran mereka ke timur atau balik ke India atau tanah Arab. Ada juga di antara mereka yang akhirnya menetap di burma karena kapal yang mereka tumpangi rusak atau tenggelam. Mereka yang agak lama tinggal di Burma ini akhirnya menikah dengan penduduk setempat yang beragama Budha, sehingga terbentuklah komunitas Islam di pelabuhan-pelabuhan negara itu.
Orang-orang keturunan Islam ini dikenal sebagai Pathee atau Kala.Perkawinan campuran ini telah menyebabkan tersebarnya agama Islam di sekitar kota-kota pelabuhan di Burma terutama setelah abad ke-10 M. Duarte Barbosa, seorang pengembara Portugis yang berkunjung ke India antara tahun 1501-1516 M juga menyebutkan tentang pesatnya perdagangan yang dijalankan oleh orang Islam antara Burma dan India. Diantara barang komoditi yang dibawa oleh kapal-kapal dagang Islam itu adalah gula, batu permata (delima), kapas, sutera, tembaga, perak, herba, dan obat-obatan. Kehadiran orang Islam di Burma ini nampaknya tidak menyenangkan penduduk pribumi.Mereka sering diganggu terutama setelah kedatangan orang Barat ke Burma.Namun demikian orang Islam yang telah menjadikan Burma sebagai tanah air mereka terus tinggal berkelompok dipinggir pantai sekitar pelabuhan dan menjadi komunitas yang dikenal sebagai orang Burma Islam (Muslim Burmese).
Burma memiliki sejarah panjang tentang pendudukan oleh para tawanan perang Muslim. Pada tahun 1613, Raja Anaukpetlun menangkap Thanlyin atau Syriam. Para prajurit upahan Muslim India di tangkap dan kemudian menetap di Myedu, Sagaing, Yamethin dan Kyaukse, wilayah utara Shwebo. Raja Sane (Say Nay Min Gyi) membawa beberapa ribu tawanan perang Muslim dari Sandoway dan menetap di Myedu pada tahun 1707 AD. Tiga ribuan Muslim dari Arakan menjadi pengungsi dibawah Raja Sane pada tahun 1698-1714. Mereka terbagi dan bertempat tinggal di Taungoo, Yamethin, Nyaung Yan, Yin Taw, Meiktila, Pin Tale, Tabet Swe, Bawdi, Syi Tha, Syi Puttra, Myae Du dan Depayin. Dekrit Raja ini telah disalin dari Perpustakaan kerajaan di Amarapura pada tahun 1801 oleh Kyauk Ta Lone Bo. Pada pertengahan abad 18, Raja Alaungpaya menyerang Assam dan Manipur India, kemudian membawa banyak orang Islam untuk menetap di Burma. Orang-orang Islam inilah yang kemudian berasimilasi untuk membentuk cikal bakal Muslim Burma. Selama kekuasaan raja Bagyidaw (1819-1837), Maha Bandula menyerang Assam dan membawa kembali 40.000 tawanan perang, kebanyakan dari mereka adalah kaum Muslimin.
Pada umumnya masyarakat muslim di Burma terbagi dalam tiga komunitas yang berbeda, dan masing-masing komunitas muslim ini mempunyai hubungan yang berbeda-beda dengan mayoritas masyarakat Budha dan pemerintah. Komunitas muslim yang terdapat di Myanmar yaitu:
1) Muslim Burma atau Zerbadee, merupakan komunitas yang paling lama berdiri dan berakar di wilayah Shwebo. Diperkirakan mereka merupakan keturunan dari para mubalig yang datang dari timur tengah dan Asia selatan serta penduduk muslim awal yang kemudian beranak pinak dengan masyarakat Burma.
2) Muslim India, Imigran Keturunan India, merupakan komunitas muslim yang terbentuk seiring kolonisasi Burma oleh Inggris.
3) Muslim Rohingya (Rakhine) yang bermukim di Negara bagian Arakan atau Rakhine, yang berbatasan dengan Bangladesh.
Pada masa itu sebagian besar Muslim di Myanmar bekerja sebagai penjelajah, pelaut, saudagar dan tentara. Beberapa diantaranya juga bekerja sebagai penasehat politik Kerajaan Burma.
Muslim pertama yang tercatat dalam sejarah Burma
Muslim pertama yang tercatat dalam sejarah Burma (dicatat dalamHmannan Yazawin atau Glass Palace Chronicle ) adalah Byat Wi selama pemerintahan Mon, seorang Raja Thaton, sekitar tahun 1050 AD. Dia dibunuh bukan karena dia seorang Muslim, tetapi karena raja mengkhawatirkan kekuatannya.
Shwe Byin saudara dieksekusi
Kedua anak kakak Wi Byat Byat Ta, yang dikenal sebagai saudara Byin Shwe, adalah anak-anak dihukum mati karena mereka menolak untuk mematuhi perintah kerja paksa raja, mungkin karena kepercayaan agama mereka. Tetapi yakin bahwa mereka membunuh bukan karena mereka Muslim atau karena mereka gagal untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan pagoda tetapi karena raja atau orang berjalan di koridor kekuasaan di istana khawatir tentang popularitas dan keterampilan. Ini jelas tercatat dalam Istana Kaca Chronicle dari Raja-raja Burma bahwa mereka tidak lagi dipercaya.
Pembunuhan Yaman Kan Nga
Rahman Khan (Nga Yaman Kan) adalah muslim lain dibunuh karena alasan politik, karena pengkhianatan kepada raja sendiri dan jelas bukan sebagai penganiayaan agama. Selama waktu perang, pahlawan nasional terkenal Raja Kyansittha dikirim pemburu sebagai penembak jitu untuk membunuh dia.
Pembantaian di Arakan
Lain pembunuhan massal Muslim di Arakan mungkin bukan karena alasan religius, tapi mungkin karena hanya politik dan keserakahan.Shah Shuja adalah putra kedua dari Kaisar Mogul Shah Jahan yang membangun Taj Mahal yang terkenal dari India. Shah Shuja kehilangan saudaranya dan melarikan diri dengan keluarganya dan tentara ke Arakan. Raja Arakan Sandathudama (1652-1687 M), memungkinkan dia untuk menetap di sana. Dia ingin membeli kapal untuk pergi ke Mekah dan bersedia membayar dengan perak dan emas. Tetapi raja Arakan meminta putrinya dan juga menjadi serakah karena kekayaannya Akhirnya setelah upaya gagal diduga pada pemberontakan sultan dan semua pengikutnya tewas. Orang-orang terlihat memiliki jenggot, simbol Islam, dipenggal kepalanya, bukan karena mereka Muslim, tetapi karena mereka dengan mudah diidentifikasi dari orang lain dengan fitur ini. Wanita itu dimasukkan ke dalam penjara dan membiarkan mereka mati karena kelaparan. Oleh karena itu, pembantaian ditargetkan pada pengungsi muslim dari India bukan karena agama mereka, Islam, tetapi untuk alasan ekonomi atau politik.
Keadaan Muslim di Bawah Raja Bayintnaung
Muslim bertugas di bawah raja Burma Bayintnaung (1550-1589 M).]Pada tahun 1559 Masehi setelah menaklukkan Baru (Pegu) ia melarang umat Islam dari memiliki halal makan kambing dan ayam dengan tidak memungkinkan mereka untuk membunuh hewan-hewan ini dalam nama Allah .Dia menunjukkan beberapa intoleransi agama dan telah memaksa beberapa rakyatnya untuk mendengarkan khotbah Buddha dan beberapa bahkan kata yang akan dikonversi dengan kekerasan.Dia juga batasan tersebut Adha Edil, Kurbani pengorbanan sapi.
Keadaan Muslim di Bawah Raja Alaungpaya
Raja Alaungpaya (1752-1760) muslim dilarang untuk melakukan halal pada ternak.
Keadaan Muslim di Bawah Kekuasaan Raja Bodawpaya
Raja Bodawpaya (1782-1819) menahan empat terkenal Burma Muslim Moulvis (Imam) dari Myedu dan membunuh mereka di Ava, ibu kota, setelah mereka menolak untuk makan daging babi. Menurut Muslim Myedu dan Burma versi Islam ada tujuh gelap hari setelah eksekusi itu dan raja kemudian meminta maaf dan diakui mereka sebagai orang-orang kudus.
Sejarah dan Perkembangan Islam Rohingya
Populasi Islam di Myanmar sempat meningkat pada masa penjajahan Britania Raya, dikarenakan banyaknya umat Muslim India yang bermigrasi ke Myanmar.Tapi, populasi umat Islam semakin menurun ketika perjanjian India-Myanmar ditandatangani pada tahun 1941. Sebagian besar Muslim di Myanmar bekerja sebagai penjelajah, pelaut, saudagar dan tentara. Beberapa diantaranya juga bekerja sebagai penasehat politik Kerajaan Burma. Muslim Persia menemukan Myanmar setelah menjelajahi daerah selatan Cina. Koloni muslim Persia di Myanmar ini tercatat di buku Chronicles of China di 860. Umat muslim asli Myanmar disebut Pathi dan muslim Cina disebut Panthay. Konon, nama Panthay berasal dari kata Parsi. Kemudian, komunitas muslim bertambah di daerah Pegu, Tenasserim, dan Pathein. Tapi komunitas muslim ini mulai berkurang seiring dengan bertambahnya populasi asli Myanmar. Pada abad ke-19, daerah Pathein dikuasai oleh tiga raja muslim India. Pada zaman Raja Bagan yaitu Narathihpate (1255-1286), pasukan muslim Tatar pimpinan Kublai Khan dan menguasai Nga Saung Chan. Kemudian, pasukan Kublai Khan ini menyerang daerah Kerajaan Bagan. Selama peperangan ini, Kolonel Nasrudin juga menguasai daerah Bamau.
Daerah Arakan secara geografis terpisah dengan sebagian besar wilayah negara Myanmar yang menganut agama Buddha.Daerah tersebut dipisahkan oleh Gunung Arakan. Luas provinsi itu sekitar 20 ribu mil persegi dan Akyab adalah ibu kota provinsinya. Kata Arakan berasal dari Arkan (Rukun) yang telah dihuni Muslim selama lebih dari 350 tahun sebelum invasi Burma.
Nama Rohingya yang kemudian diasosiasikan sebagai umat Muslim di Myanmar itu diambil dari nama kuno untuk daerah Arakan. Ada juga yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari kata“rahma” (rahmat) dalam bahasa Arab atau “rogha” (perdamaian) dalam bahasa Pashtun. Selain itu, ada pula yang mengaitkannya dengan wilayah Ruhadi Afghanistan yang dianggap sebagai tempat asal Rohingya. Islam dikenalkan ke daerah itu oleh pedagang dari Arab yang datang pada abad pertama dalam kalender Hijriah. Kedatangan tersebut kemudian diikuti oleh banyak pedagang Muslim yang lain.
Secara genealogis bangsa Rohingya adalah keturunan India. Mereka menempati Arakan sejak sebelum Masehi. Dahulu mereka pemeluk agama Hindu, Budha Mahayana dan Animisme. Ketika para pedagang dari Arab datang ke Arakan tahun 788 M, mereka mulai pindah kepada agama Islam. Pribumi India yang telah masuk Islam ini kemudian bergaul dengan para pemukim asing seperti Arab, Persia, Turki, Pathan, Bengali dan Mongolia. Pemukiman mereka terus berlanjut sepanjang sejarah. Oleh karena itu, Rohingya bukanlah masyarakat dari satu ras, tetapi berasal multi-rasial. Namun, sebagian besar Rohingya memang merupakan keturunan India.
Pada 1406 M. Raja Naramakhbala yang merupakan penguasa Arakan, sedang dalam kondisi sulit karena mendapat serangan dari Raja Burma. Untuk bisa mengatasi situasi sulit itu, sang raja kemudian mengungsi dan meminta bantuan kepada Sultan Nasiruddin dari Bengal. Dalam prosesnya, setelah 24 tahun lamanya. Raja Naramkhbala kemudian memeluk Islam.Namanya pun berganti menjadi Suleiman Shah.Lalu, dengan bantuan dari Bengal, Raja Arakan itu berhasil merebut kembali kerajaannya dari Raja Burma.
Tahun 1420 M adalah era monumental. Karena pada saat itulah, Arakan dideklarasikan sebagai sebuah negara Islam di bawah kepemimpinan Suleiman Shah.Kekuasaannya bertahan hingga 350 tahun. Hingga pada 1784, negara Arakan kembali dikuasai oleh Pasukan Buddha dari Burma. Arakan kemudian dimasukkan ke wilayah Burma karena takut dengan perkembangan penyebaran Islam. Peninggalan sejarah Islam berupa masjid dan madrasah dihancurkan. Tidak hanya itu, ulama dan da’i-pun dibunuh.
Setelah itu daerah Arakan dikuasai Inggris pada tahun 1824. Pada tahun 1947 M, menjelang kemerdekaan Burma diadakan kofrensi di kota Peng Long untuk persiapan menyambut kemerdekaan. Semua etnis diundang dalam acara tersebut kecuali muslimin Rohingya untuk menjauhkan mereka dari kelangsungan sejarah dan penentuan nasib mereka. Pada tanggal 4 Januari tahun 1948 M, Inggris memberikan kemerdekaan kepada Burma dengan syarat memberikan kemerdekaan pula kepada seluruh etnis setelah 10 tahun. Pemerintah Burma sempat menjanjikan Arakan akan menjadi daerah yang diberikan otonomi khusus. Akan tetapi orang-orang Burma ingkar janji, di mana Burma terus menjajah muslim Rohingya Arakan serta melakukan praktek keji terhadap muslimin. Hak asasi manusia Muslim Rohingya dilanggar. Keadaan semakin buruk ketika Junta Militer berkuasa. Upaya pembersihan terhadap umat Muslim atau kaum Rohingya pun dilakukan. Mereka ingin mengganti populasi umat Muslim di daerah itu dengan populasi umat Buddha. Kemudian, dalam serangkaian serangan, Muslim dibunuh secara brutal dan dihapus paksa dari sebagian besar dari 17 kota di Arakan. Sekarang Muslim tersisa dalam 3 sampai 4 kota. Kehidupan mereka sehari-hari seperti di sebuah penjara terbuka.
Dibandingkan dengan muslim Zerbadee dan muslim India, kedudukan muslim Rakhine (Rohingya) tergolong yang paling sukar. Salah satu akar konflik menahun itu adalah status etnis minoritas Rohingya yang masih dianggap imigran ilegal di Myanmar. Pemerintah Myanmar tak mengakui dan tak memberi status kewarganegaraan kepada mereka. Mereka merupakan komunitas yang paling miskin yang ada di Burma. Selain itu, mereka juga disulitkan oleh peperangan, dislokasi, dan perselisihan. Sebagai akibat tiadanya kewarganegaraan, etnis Rohingya tak bisa mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan pekerjaan yang layak. Mereka betul-betul terabaikan dan terpinggirkan.
Dinamika Muslim Myanmar 1940-1970 Imigrasi India dan bangkitnya nasionalisme menciptakan ketegangan yang signifikan di antara ketiga komunitas muslim di Burma itu, begitu pula antara muslim dan mayoritas Budha. Sementara itu, banyak muslim India terlibat dalam berbagai organisasi dan perkumpulan-perkumpulan yang terkait dengan asal mereka di anak benua India. Kaum muslim Burma yang telah lama terbentuk cenderung mengambil sikap sama dengan mayoritas Budha dan mendukung gerakan nasionalis Burma. Muslim Rakhine tetap terlepas dari keduanya dan terus mengembangkan sejarah mereka sendiri, terpisah dari kedua komunitas lainnya.
Setelah Burma merdeka pada 1948, ketiga komunitas muslim di atas memiliki peran yang berbeda. Komunitas yang pertama yaitu muslim Burma mendapat tempat dalam pemerintahan Perdana Menteri U Nu. Sedangkan kaum muslim India yang lebih berpandangan keluar dan berorientasi pada peniagaan merasa hidup lebih sulit setelah kemerdekaan. Mereka kemudian mencari persekutuan politik dengan politisi-politisi Burma atau kembali ke India dan Pakistan. Setelah nasioalisasi ekonomi besar-besaran oleh pemerintahan Dewan Revolusioner Ne Win pada 1963, ratusan ribu orang Asia Selatan, termasuk kaum muslim, kembali ke Negara asal mereka. Namun, masih terdapat komunitas muslim dalam jumlah yang signifikan tersisa di Yangon dan kota-kota lain di selatan Myanmar.
Dibandingkan dengan muslim Zerbadee dan muslim India, kedudukan muslim Rakhine (Rohingya) tergolong yang paling sukar. Mereka merupakan komunitas yang paling miskin yang ada di Burma.Mereka selalu ditolak status kewarganegaraannya, juga berbagai akses sekolah dan rumah sakit.Selain itu, mereka juga disulitkan oleh peperangan, dislokasi, dan perselisihan. Pada tahun 1942 terjadi peristiwa yang sangat memilukan bagi umat Islam, gerakan anti Islam yang dilancarkan oleh penganut Budha melakukan pembantai besar-besaran terhadap muslim di Arakan yang mengakibatkan kematian sekitar 100.000 umat Islam sedangkan sebagian lainnya mengalami cacat dan tidak diizinkan untuk menempati rumah dan tanah mereka sendiri. Akibat penindasan dan diskriminasi yang mereka alami, setelah perang dunia II kaum muslim ini menuntut agar bagian utara dari wilayah Arakan yaitu Buthidaung dan Maungdaw yang mereka tempati dimasukkan ke Pakistan. Namun pemerintah menolak tuntutan tersebut, sehingga terjadilah perselisihan bersenjata antara pasukan “Mujahid” yang dibentuk oleh muslim Rohingya dengan pasukan pemerintah.
Kelompok muslim lainnya di Myanmar
Berusaha Mencari Ketenangan Etnis muslim lainnya yaitu Hui-hui di Myanmar semakin menunjukkan kecenderungan membaur, sehingga mereka tidak terlalu terlihat sebagai sebuah komunitas muslim yang menonjol. Hal ini dilakukan sekedar demi kepentingan pragmatis akibat trauma pembantaian di berbagai daerah. Jumlah mereka pun terbilang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok muslim lainnya yang membentuk komunitas tersendiri sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Mereka kebanyakan berprofesi sebagai pedagang dan penyedia jasa di kota belahan tengah dan utara negeri itu. Selain itu kecenderungan kelompok Huihui untuk memilih pasangan perkawinan dari kelompok Burma yang lain yang meningkat tahun 1970-an, membuat Huihui sudah sangat membaur sekali dengan masyarakat Myanmar, sehingga etnis muslim ini mungkin sudah tidak begitu relevan dalam kajian perkembangan masyarakat muslim di Myanmar saat ini.
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Myanmar
http://may2sdiary.wordpress.com/2013/09/14/islam-myanmar/
http://trinofendri.wordpress.com/2009/12/02/hello-world/
No comments:
Post a Comment