Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Pajang. Kerajaan Pajang atau Kesultanan Pajang merupakan kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah. Kerajaan ini adalah kelanjutan dari Kerajaan Demak yang telah mengalami kemunduran. Bekas peninggalan Kompleks keraton sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja yang berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo Jawa Tengah.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Demak
Sejarah Pendirian
Nama negeri Pajang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut catatan Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, seorang adik perempuan Hayam Wuruk (raja Majapahit saat itu) menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Nama aslinya adalah Dyah Nertaja, yang merupakan ibu dari Wikramawardhana, raja Majapahit selanjutnya.
Sumber tertulis dari naskah-naskah babad, menyebutkan bahwa negeri Pengging disebut sebagai cikal bakal Pajang. Dan dalam cerita rakyat yang sudah melegenda menyebut Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya. Ia merupakan musuh bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng berdirinya Candi Prambanan.
Pada saat Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir menurut naskah babad). Diceritakan bawah putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik oleh Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Kemudian diselamatkan oleh Jaka Sengara yang berhasil merebut sang putri dan membunuh penculiknya. Berkat jasanya menolong putri Raja, Jaka Sengara diangkat Brawijaya sebagai bupati Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Kemudian beliau bergelar Andayaningrat.
Cerita selanjutnya menurut naskah babad, Andayaningrat gugur saat terjadi perang antara majapahit dan demak. Ia gugur di tangan Sunan Ngudung. Kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga yang bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.
Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak. Prestasi Jaka Tingkir di Kerajaan Demak yang cemerlang membuat ia diangkat sebagai menantu Trenggana, dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya. Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.
Tahun 1546 Sepeninggal Trenggana, Sunan Prawoto naik takhta, namun kemudian ia tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang yang menjabat sebagai bupati Jipang tahun 1549. Arya Penangsang juga berniat untuk membunuh Hadiwijaya namun usahanya itupun gagal.
Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara dan puteri Trenggana), Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Ia pun menjadi pewaris takhta Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang. Inilah awal terbentuknya kesultanan Pajang.
Perkembangan
Awal berdirinya Kesultanan Pajang pada tahun 1549, wilayahnya hanya meliputi sebagian Jawa Tengah saja, dan negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak sepeninggalan Trenggana.
Tahun 1568 terjadi pertemuan antara Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur, mereke dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Pada pertemuan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dijadikan menantu Hadiwijaya dengan dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya.
Madura yang merupakan negeri kuat juga berhasil ditundukkan Pajang. Dan untuk memperluas kekuasaan pimpinan Madura yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu Hadiwijaya.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Mataram
Raja/Sultan Kerajaan Pajang
JAKA TINGKIR (SULTAN HADIWIJAYA)
Jaka tingkir biasa juga di panggil dengan sebutan Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak Ki Ageng Pengging dihukum mati. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Silsilah Jaka Tingkir :
Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)
Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging
Mas Karebet/Jaka Tingkir.
Dalam Babad Jawa, Hadiwijaya lebih dilukiskan sebagai Raja yang lemah, tetapi kenyataannya sebagai ahli waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman yang dilanjutkan lagi oleh Raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18 dan 19.
Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan Kedu (lembah Progo atas).
Masa pemerintahan Hadiwijaya pada tahun 1578 seorang tokoh pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama ditindak oleh pasukan-pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Hadiwijaya. Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora pada tahun 1554 menjadi rebutan antara Pajang dan Mataram.
Sultan Hadiwijaya sebagai raja islam berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk peresmiannya pernah diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri, hadir pada kesempatan itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya. Disebutkan pula bahwa Arosbaya (Madura Barat) mengakui Hadiwijaya sehubunga dengan itu bupatinya bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.
ARYA PANGIRI (SULTAN NGAWANTIPURA)
Sultan berikutnya yang memerintah Kerajaan Pajang adalah Arya Pangiri. Beliua adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.
Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta kepemimpinan di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja. Pangeran Benawa pun merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan beliau kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).
Sebenarnya Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus.
Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 dan bergelar Sultan Ngawantipura. Menurut kisah beliau hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Selain itu Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.
PANGERAN BENAWA (SULTAN PRABUWIJAYA)
Raja ketiga dan terakhir kesultanan Pajang adalah Pangeran Benawa yang memerintah tahun 1586-1587, bergelar Sultan Prabuwijaya. Beliau adalah putra Sultan Hadiwijaya , raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.
Untuk menjalin kekerabatan dengan Kesultanan Mataram putri Pangeran Benawa yang bernama Dyah Banowati menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi. Dari hasil perkawinannya itu kemudian lahirlah Sultan Agung yang kelak menjadi raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.
Peran Wali Songo
Pada zaman Kerajaan Demak, majelis ulama Wali Songo memiliki peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak.
Sepeninggal Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, raja baru pengganti Trenggana.
Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif, sedikit banyak para wali masih berperan dalam pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak sebagai pelantik Hadiwijaya sebagai raja. Ia juga menjadi mediator pertemuan Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Hadiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah sayembara menumpas Arya Penangsang.
Wali lain yang masih berperan menurut naskah babad adalah Sunan Kudus. Sepeninggal Hadiwijaya tahun 1582, ia berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa dari jabatan putra mahkota, dan menggantinya dengan Arya Pangiri.
Mungkin yang dimaksud dengan Sunan Kudus dalam naskah babad adalah Panembahan Kudus, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550.
Pemberontakan Mataram
Tanah Mataram dan Pati adalah dua hadiah Hadiwijaya untuk siapa saja yang mampu menumpas Arya Penangsang tahun 1549. Menurut laporan resmi peperangan, Arya Penangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.
Ki Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal ini disebabkan karena Hadiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.
Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan sejak tahun 1575. Tokoh Sutawijaya inilah yang sebenarnya membunuh Arya Penangsang. Di bawah pimpinannya, daerah Mataram semakin hari semakin maju dan berkembang.
Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram karena Sutawijaya membela adik iparnya, yaitu Tumenggung Mayang, yang dihukum buang ke Semarang oleh Hadiwijaya. Perang itu dimenangkan pihak Mataram meskipun pasukan Pajang jumlahnya lebih besar.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Perlak - Sumatera
Keruntuhan
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai penerus tahta Kesultanan Pajang. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Sejak pemerintahan Arya Pangiri, beliau hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin.
Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua. Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Kemudian Ia dikembalikan ke negeri asalnya di Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga.
Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.
Itulah sejarah singkat mengenai Kerajaan Islam Kesultanan Pajang. Semoga bermanfaat
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Pajang
http://sejarah-andychand.blogspot.com/2012/05/sejarah-kerajaan-pajang.html
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Demak
Sejarah Pendirian
Nama negeri Pajang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut catatan Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, seorang adik perempuan Hayam Wuruk (raja Majapahit saat itu) menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Nama aslinya adalah Dyah Nertaja, yang merupakan ibu dari Wikramawardhana, raja Majapahit selanjutnya.
Sumber tertulis dari naskah-naskah babad, menyebutkan bahwa negeri Pengging disebut sebagai cikal bakal Pajang. Dan dalam cerita rakyat yang sudah melegenda menyebut Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya. Ia merupakan musuh bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng berdirinya Candi Prambanan.
Pada saat Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir menurut naskah babad). Diceritakan bawah putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik oleh Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Kemudian diselamatkan oleh Jaka Sengara yang berhasil merebut sang putri dan membunuh penculiknya. Berkat jasanya menolong putri Raja, Jaka Sengara diangkat Brawijaya sebagai bupati Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Kemudian beliau bergelar Andayaningrat.
Cerita selanjutnya menurut naskah babad, Andayaningrat gugur saat terjadi perang antara majapahit dan demak. Ia gugur di tangan Sunan Ngudung. Kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga yang bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.
Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak. Prestasi Jaka Tingkir di Kerajaan Demak yang cemerlang membuat ia diangkat sebagai menantu Trenggana, dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya. Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.
Tahun 1546 Sepeninggal Trenggana, Sunan Prawoto naik takhta, namun kemudian ia tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang yang menjabat sebagai bupati Jipang tahun 1549. Arya Penangsang juga berniat untuk membunuh Hadiwijaya namun usahanya itupun gagal.
Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara dan puteri Trenggana), Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Ia pun menjadi pewaris takhta Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang. Inilah awal terbentuknya kesultanan Pajang.
Perkembangan
Awal berdirinya Kesultanan Pajang pada tahun 1549, wilayahnya hanya meliputi sebagian Jawa Tengah saja, dan negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak sepeninggalan Trenggana.
Tahun 1568 terjadi pertemuan antara Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur, mereke dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Pada pertemuan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dijadikan menantu Hadiwijaya dengan dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya.
Madura yang merupakan negeri kuat juga berhasil ditundukkan Pajang. Dan untuk memperluas kekuasaan pimpinan Madura yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu Hadiwijaya.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Mataram
Raja/Sultan Kerajaan Pajang
JAKA TINGKIR (SULTAN HADIWIJAYA)
Jaka tingkir biasa juga di panggil dengan sebutan Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak Ki Ageng Pengging dihukum mati. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Silsilah Jaka Tingkir :
Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)
Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging
Mas Karebet/Jaka Tingkir.
Dalam Babad Jawa, Hadiwijaya lebih dilukiskan sebagai Raja yang lemah, tetapi kenyataannya sebagai ahli waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman yang dilanjutkan lagi oleh Raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18 dan 19.
Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan Kedu (lembah Progo atas).
Masa pemerintahan Hadiwijaya pada tahun 1578 seorang tokoh pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama ditindak oleh pasukan-pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Hadiwijaya. Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora pada tahun 1554 menjadi rebutan antara Pajang dan Mataram.
Sultan Hadiwijaya sebagai raja islam berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk peresmiannya pernah diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri, hadir pada kesempatan itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya. Disebutkan pula bahwa Arosbaya (Madura Barat) mengakui Hadiwijaya sehubunga dengan itu bupatinya bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.
ARYA PANGIRI (SULTAN NGAWANTIPURA)
Sultan berikutnya yang memerintah Kerajaan Pajang adalah Arya Pangiri. Beliua adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.
Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta kepemimpinan di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja. Pangeran Benawa pun merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan beliau kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).
Sebenarnya Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus.
Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 dan bergelar Sultan Ngawantipura. Menurut kisah beliau hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Selain itu Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.
PANGERAN BENAWA (SULTAN PRABUWIJAYA)
Raja ketiga dan terakhir kesultanan Pajang adalah Pangeran Benawa yang memerintah tahun 1586-1587, bergelar Sultan Prabuwijaya. Beliau adalah putra Sultan Hadiwijaya , raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.
Untuk menjalin kekerabatan dengan Kesultanan Mataram putri Pangeran Benawa yang bernama Dyah Banowati menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi. Dari hasil perkawinannya itu kemudian lahirlah Sultan Agung yang kelak menjadi raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.
Peran Wali Songo
Pada zaman Kerajaan Demak, majelis ulama Wali Songo memiliki peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak.
Sepeninggal Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, raja baru pengganti Trenggana.
Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif, sedikit banyak para wali masih berperan dalam pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak sebagai pelantik Hadiwijaya sebagai raja. Ia juga menjadi mediator pertemuan Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Hadiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah sayembara menumpas Arya Penangsang.
Wali lain yang masih berperan menurut naskah babad adalah Sunan Kudus. Sepeninggal Hadiwijaya tahun 1582, ia berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa dari jabatan putra mahkota, dan menggantinya dengan Arya Pangiri.
Mungkin yang dimaksud dengan Sunan Kudus dalam naskah babad adalah Panembahan Kudus, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550.
Pemberontakan Mataram
Tanah Mataram dan Pati adalah dua hadiah Hadiwijaya untuk siapa saja yang mampu menumpas Arya Penangsang tahun 1549. Menurut laporan resmi peperangan, Arya Penangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.
Ki Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal ini disebabkan karena Hadiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.
Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan sejak tahun 1575. Tokoh Sutawijaya inilah yang sebenarnya membunuh Arya Penangsang. Di bawah pimpinannya, daerah Mataram semakin hari semakin maju dan berkembang.
Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram karena Sutawijaya membela adik iparnya, yaitu Tumenggung Mayang, yang dihukum buang ke Semarang oleh Hadiwijaya. Perang itu dimenangkan pihak Mataram meskipun pasukan Pajang jumlahnya lebih besar.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Perlak - Sumatera
Keruntuhan
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai penerus tahta Kesultanan Pajang. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Sejak pemerintahan Arya Pangiri, beliau hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin.
Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua. Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Kemudian Ia dikembalikan ke negeri asalnya di Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga.
Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.
Itulah sejarah singkat mengenai Kerajaan Islam Kesultanan Pajang. Semoga bermanfaat
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Pajang
http://sejarah-andychand.blogspot.com/2012/05/sejarah-kerajaan-pajang.html
tkhnss
ReplyDelete