Saturday, March 21, 2015

Sejarah Perkembangan Islam di Palu Sulawesi Tengah

sejarah perkembangan islam di palu sulawesi tengah
Sejarah perkembangan Islam di Sulawesi Tengah dijabarkan dalam empat hal, yakni proses masuknya, pembawa ajaran, penerimaan masyarakat, dan perubahan apa yang telah dihasilkan oleh perubahan itu sendiri. Proses masuknya, secara umum menggunakan jalur laut baru kemudian melalui jalur darat. Pembawa ajaran islam di Sulawesi tengah disebut-sebut adalah orang Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Arab.


Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Makassar

Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah memiliki hubungan antar pulau yang dilalui melalui jalur pelayaran. Baik dengan motivasi ekonomi maupun politik, dan kepentingan kekuasaan (kerajaan-kerajaan) Islam. Hubungan ini pula yang mengantar ajaran (dakwah) Islam menembus dan merambah pulau Celebes (Sulawesi), tidak terkecuali Sulawesi Tengah. Menurut catatan company dagang Portugis pada tahun 1540 saat datang ke pulau Sulawesi telah menemukan perkampungan-perkampungan muslim di beberapa daerah.

Jejak sejarah Islam di Lembah Palu, Sulawesi Tengah, dapat dengan mudah ditelusuri dari benda-benda peninggalan Islam masa lampau. Seperti keberadaan sejumlah Alquran tua, kumpulan Lontara, hingga lembaran Kutika. Benda-benda bersejarah yang kini tersimpan rapi di Museum Sulteng. Salah satu benda sejarah peninggalan Islam masa lampau di Lembah Palu adalah Alquran tua. Alquran tulisan tangan yang diperkirakan berumur 200-an tahun. Alquran tersebut berukuran sekitar 30 centimeter x 40 centimeter dengan tebal kira-kira 10 centimeter. Uniknya Alquran tersebut, juga berisikan ukiran-ukiran yang bersifat floral atau tumbuh-tumbuhan yang digambar di setiap sisi lembaran ayat.

Alquran sejarah islam di palu sulawesi tengah

Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Kerajaan Bone

Selain Alquran yang berusia 200-an tahun itu, terdapat pula 20 hingga 30 Alquran peninggalan abad 19 dan abad 20. Alquran dari zaman itu, terang Iksam, sudah menggunakan kertas hasil produksi pabrik dari Eropa. Hal itu ditandai dengan adanya cap air atau watermark pabrik kertas yang ada di setiap lembaran Alquran. Meski begitu, ayat-ayat Alquran masih ditulis dengan menggunakan tangan. "Kalau diterawang, kelihatan watermark-nya," jeles Iksam. Keberadaan sejumlah Alquran tua tersebut, ditengarai datang dari masa periode sesudah syiar Islam yang dilakukan oleh Datokarama, yakni pada periodesasi syiar Islam oleh para mubalig bugis, makassar, dan mandar hingga periodesasi mubalig arab/Yaman.

Secara kronologis yang pertama memeluk ajaran Islam adalah raja dan keluarganya (bangsawan-bangsawan) yang biasa disebut Madika. setelah itu barulah tersebar ke masyarakat umum. Kerajaan di Sulawesi Tengah yang pertama kali memeluk Agama Islam adalah kerajaan Buol dan kerajaan Banggai yang diperkirakan pada pertengahan abad XVI.  Keduanya mendapat pengaruh Islam dari kesultanan Kerajaan Ternate yang telah menerima agama Islam pada abad XV, sedangkan ajaran agama Islam tiba di Tanah Kaili pada permulaan abad XVII (tahun 1603) yang dibawa oleh dua orang mubaligh berasal dari Minangkabau. Daerah Lembah Palu dibawa oleh Abdul Raqie dengan gelar Datuk Karama dan Datuk Mangaji menyiarkan Islam di Pantai Timur Kabupaten Donggala (sekarang Primo).

Ajaran Islam yang telah lama disyiarkan di Kesultanan Ternate kemudian disebarkan ke berbagai daerah kekuasaannya. Hal tersebut dapat dilihat dari Raja Eato Muhammad Tahir (1540-1595) Raja Kerajaan Buol yang bergelar sultan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa selambat-lambatnya pada pemerintahan sultan inilah ajaran Islam masuk ke Buol dari Ternate. Sultan Eato Muhammad Tahir memiliki hubungan persahabatan dengan penguasa-penguasa di Kesultanan Ternate, seperti Sultan Khairun (1550-1570) dan Sultan Baabullah (1570-1584). Berarti, mula ajaran Islam diterima oleh Raja Buol, kemudian diikuti oleh rakyatnya.

Selain itu yang ikut membawa ajaran Agama Islam adalah Datuk Ribandang, Datuk Ritiro dan Datuk Patimang. Dan dilanjutkan dengan penyiaran Agama Islam yang berasal dari Arab, bernama Sayed Idrus Bin Salim Al-Djufrie atau yang populer di panggil Guru Tua.

Ajaran agama Islam di Sulawesi Tengah mula-mula dianut oleh masyarakat yng berdiam di pesisir, kemudian makin meluas ke arah pedalaman. Dapat dikatakan pula pada mulanya hanya disebarkan secara perorangan oleh mubaligh dan para pendatang dari Sulawesi Selatan dan dari tempat lainnya sehinggga agak lambat perkembangannya. Setelah datangnya pengaruh organisasi Syarikat Islam (SI) disusul dengan berdirinya Perguruan Islam Alkahiraat sejak tahun 1930 barulah penyebaran Agama Islam berkembangn dengan pesat hingga ke pelosok-pelosok desa di Sulawesi Tengah.

Menurut buku Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, disebutkan bahwa pengaruh kerajaan Ternate juga meliputi daerah Gorontalo dan daerah pesisir Teluk Tomini. Dari tradisi lisan masyarakat Lambunu dikatakan bahwa Islam datang ke daerah itu berasal dari Ternate yang dapat dibuktikan dengan keberadaan sebuah gulungan kertas tua yang bertuliskan huruf arab yang disebut-sebut sebagai khotbah pertama ketika Islam masuk di Kerajaan Lambunu. Khotbah itu merupakan kiriman Sultan Ternate. Pembawa khotbah (sebagai tanda persahabatan) tersebut adalah Bikokong seorang Kapitan Raja Benda Kerajaan Ternate. Kemudian di daerah Tomini dikatakan bahwa orang Tomini mendapatkan ajaran Islam melalui Gorontalo. Daerah ini memiliki seorang penyebar Islam yang bernama Ukum seorang pengembara dari Gorontalo. Jasa orang ini adalah mengkhitan orang-orang Islam di pesisir pantai Tomini.

Masuknya Islam di Sulawesi Tengah diyakini sebagai tonggak awal modernisasi masyarakat Sulawesi Tengah. Perkembangan Islam di Sulawesi Tengah dibagi kedalam tiga periode yaitu, periode mistis, periode ideologi, dan periode ilmu pengetahuan. Periode mistis sebagai periode awal masuknya Islam di Sulawesi Tengah diriwayatkan pada abad ke XVII dengan datangnya rombongan dari Minangkabau yang kurang lebih berjumlah 50 orang di muara Teluk Palu (Karampe). Rombongan tersebut dipimpin oleh Abdullah Raqie yang kemudian dikenal sebagai Dato Karama. Beliau membawa serta istrinya yang bernama Ince Jille, iparnya yang bernama Ince Saharibanong, dan anaknya yang bernama Ince Dingko. Mereka datang dengan alat-alat kebesarannya seperti Bendera Kuning, Panji Orang-Orangan, Puade, Jijiri, Bulo, Gong, dan Kakula (Kulintang).

Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Sulawesi Utara

Dato Karama mengunjungi Palu dengan menggunakan sebuah perahu Kora-kora. Pada waktu itu, utusan Gubernur Robertus Padtbrugge, Jan Fransoon, yang dikawal oleh semua tentara bersenjata sering bepergian melalui rute Ternate, Banggai, Todjo, Poso, Parigi, Tolitoli, dan Palu untuk menemui raja di wilayah tersebut. Dari beberapa uraian dijelaskan bahwa route tersebut juga yang diikuti oleh Abdullah Raqie dalam perjalanannya dari Ternate ke Palu, pada pertengahan abad ke XVII.



Kedatangan Dato Karama di Lembah Palu disambut dengan baik oleh masyarakat Lembah Palu bahkan kedatangannya disambut oleh dua bangsawan Lembah Palu saat Itu yaitu Parasila atau Pue Njidi dan I Moili atau Pue Bongo. Parasila atau Pue Njidi merupakan raja Kabonena. Pue Njidi dan Pue Bongo kemudian memeluk Islam diikuti oleh masyarakat Lembah Palu. Metode syiar Dato Karama menurut penelusuran beberapa literatur diketahui menggunakan pola yang sama dengan yang digunakan di Kesultanan Aceh. Hal ini dilihat dari kenyataan bahwa Dato Karama merupakan utusan Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh untuk mengislamkan masyarakat di Pulau Sulawesi bersama dengan Datuk Ri Tiro dan Datuk Ri Bandang. Proses Islamisasi yang dilakukan oleh Dato Karama berpusat pada sebuah mesjid yang didirikan atas dukungan masyarakat (penduduk) di sekitar masjid tersebut. Masjid ini diberi nama masjid Jami dan berada di wilayah kelurahan Kampung Baru sekarang.

Selain itu, di wilayah bagian timur Sulawesi Tengah, dimulai dari Moutong, Tomini, Tinombo, Sigenti, Kasimbar, Parigi, Sausu, Tojo, Una-una, Kepulauan Togean, hingga Bungku, penyebaran Islam dilakukan oleh orang-orang Ternate pada masa pemerintahan Sultan Khairun (1550-1570). Tahun 1563, Sultan Khairun bermaksud mengislamkan Sulawesi Utara, Gorontalo, Mooeton (Moutong), Tomini, Tinombo, Soegenti, Kasimbar, Parigi, Saosoe, Todjo, Ampana, serta Kepulauan Una-una dan Togean. Namun maksud tersebut mengalami hambatan yang dilakukan oleh tentara Portugis ketika mengirimkan seorang Misionaris yang bernama Peter Magelhaens. Sultan selanjutnya yaitu Sultan Baabullah yang berkuasa antara 1570-1580, berhasil membangun kekuatan maritim mampu menguasai wilayah Sulawesi dan Kepulauan Philipina.

Orang yang menyebarkan Islam di daerah Bungku yang datang dari Ternate bernama Syekh Maulana atau Datu Maulana Bajo Johar. Sedangkan yang menganut agama Islam pertama adalah Raja Bungku yang pertama, bernama Sangia Kinambuku. Di Kerajaan Tojo, proses pengislaman dilakukan oleh para mubaligh dari Ternate dengan cara dari rumah ke rumah juga dibantu oleh imam lokal yang sangat gigih yaitu Pabemba (Imam Tua), Bunae, Langke Mawo, dan Mangge Moho.

Tidak ada uraian yang jelas dan pasti dari cerita rakyat bahkan dalam oral history tentang tahun masuknya penyebar islam dari wilayah Ternate ke Tojo, Una-una, namun dari beberapa informan menjelaskan bahwa islam masuk di wilayah Tojo Una-Una yang berasal dari Ternate sekitar abad ke XVII dan memiliki pengaruh yang cukup kuat. Penyebaran Islam dengan perkawinan antara anak sultan Ternate dengan seorang wanita kampung Bongka bernama Indo Bontomu, dari hasil perkawinan ini melahirkan anak bernama Nursiva. Adanya perkawinan antara anak Sultan Ternate dengan Indo Bontomu menunjukkan adanya pengaruh Islam Ternate yang masuk di wilayah Tojo Una-Una melalui perkawinan.

Namun dari beberapa sumber lokal dan tradisi lisan masyarakat Tojo, bahwa Islam masuk di wilayah Tojo diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Bugis yang berasal dari kerajaan Bone sekitar abad XVI. Di wilayah kerajaan Tojo Una-una disebarkan oleh pedagang Bugis yang bernama Andi Baso dari turunan bangsawan Bugis, istrinya bernama Fatimah yang berasal dari turunan bangsawan Bone. Andi Baso bersaudara dengan Andi Lao Matiro (Bapak Pilewiti), berarti Andi Baso sebagai penyebar Islam di Tojo bersaudara dengan Pilewiti. Sudah dapat dipastikan dari namanya saja dengan gelarannya “Andi” berasal dari Bugis. Andi Baso digelari dengan nama Andre Guru atau Andre Guru ri Tojo artinya orang yang kuasai agama islam yang berada di Tojo. Islam sudah mulai masuk di Tojo dengan dibawa oleh Andre Guru tersebut.

Selanjutnya Islam tersebar dan dikembangkan oleh anaknya yang bernama Andi Lasupu yang lahir Tahun 1745 di Kajuara (Bone). Sedangkan pengenalan Islam diwilayah pedalaman (Vorstelanden) seperti Podi, Marowo, Betaua, Uekuli dilakukan setelah kedatangan Belanda sekitar abad XIX dan awal abad XX, yang dilakukan oleh pedagang-pedagang Islam dari Sulawesi Selatan. Mereka umumnya berasal dari Bugis Makassar seperti di Tojo setelah Andre Guru dan La Supu juga ada Silado La Tajang (1940), dan di Mire penyebar Islamnya adalah Balili.

Pada masa itu juga, orang-orang Bugis, Makassar, dan Mandar melakukan penyebaran agama Islam di wilayah Sulawesi Tengah. Menurut riwayatnya bahwa yang melakukan penyebaran agama Islam di Sulawesi Tengah dilakukan oleh Pue Bulangisi (Daeng Kondang menyebarkan Islam di Tavaeli, Pua Karikati menyebarkan Islam di Toribulu. Demikian juga Datuk Mangaji mengislamkan Raja Parigi yang bernama Magau Tori Kota dan putranya yang bernama Magau Janggo atau yang bernama Ma’ruf).
Di Banggai, Adi Cokro tercatat sebagai orang yang memasukkan agama Islam. Hal tersebut sebagaimana ditulis Albert C. Kruyt dalam bukunya De Vorsten Van Banggai ( Raja-raja Banggai). Adi Cokro bergelar Mumbu Doi Jawa, yang dalam dialeg orang Banggai disebut Adi Soko, mempersunting seorang wanita asal Ternate berdarah Portugis bernama Kastellia ( Kastella). Perkawinan Adi dengan Kastellia melahirkan putra bernama Mandapar yang kemudian menjadi Raja Banggai. Istilah " Adi" merupakan gelar bangsawan bagi raja-raja Banggai, hal tersebut sama dengan gelar RM ( Raden Mas) untuk bangsawan Jawa atau Andi bagi bangsawan Bugis.

Kerajaan Sojol, telah memeluk Islam sebelum kedatangan Guru Tua. Dalam bukunya, Sojol Melawan Belanda, Sofjan B. Kambay bahkan mencatat bahwa Raja Sojol, Ologian Kaleolangi, adalah seorang muslim yang taat, yang menjadikan syariat Islam sebagai undang-undang kerajaannya sekaligus media untuk mengobarkan semangat melawan imperialisme kolonial dalam peperangan di tahun 1903-1905. Demikian juga dengan anak Ologian Kaleolangi, Singalam, merupakan juru dakwah yang aktif menyebarkan ajaran Islam di kawasan Tinombo dan sekitarnya. Konon, ia memperdalam ajaran Islam, khususnya tasawuf, dari Syaikh Ibrahmin di Sibolga, Sumatera Utara, ketika menjalani masa pengasingan selama 14 tahun. Tetapi, sejauh apa dampak dari pengaruh tasawuf ajaran Syaikh Ibrahim bagi masyarakat muslim di Kecamatan Sojol dan di tengah masyarakat suku Lauje di Tinombo, belum ada literatur yang mengetengahkan hal tersebut.

Tantangan utama pada periode ini adalah kepercayaan lama berupa sistem kepercayaan tradisionalistik. Kepercayaan yang menjadi penghalang utama agama Islam adalah kepercayaan Lamoa di Poso, Karampue Langi dan Karampue Ntana (Kepercayaan Penguasa Langit dan Penguasa Tanah), Kepercayaan Wentira (Kepercayaan Tarapotina, Topepa, Buntulovo, Tauta, Divo, Tampilangi, Diava), kepercayaan gaib dari manusia yang hilang seperti Tauleru dan Talivarani, kepercayaan tentang doti (doti pontiala/lembek kepala, doti jori/lumpuh, doti apu/kulit terkelupas, doti butiti/perut kembung dan semacamnya).

Jika melihat pada penulisan sejarah tentang Islam di Sulawesi Tengah, umumnya, penulisan sejarah tentang perkembangan Islam hanya berkutat pada dua tokoh, yaitu Datokarama dan Guru Tua. Penulisan sejarah tentang kedua tokoh ini pun ternyata tidak berbanding lurus. Tidak seperti Guru Tua, yang telah banyak sumber dari beragam perspektif yang mengulas tentang sejarahnya, penulisan mengenai sejarah Datokarama tampaknya masih minim sehingga wajar bila di antara kita yang hanya mengetahui Datokarama sebagai nama sebuah perguruan tinggi di kota Palu. Datokarama yang nama aslinya adalah Abdullah Raqie, merupakan mubaligh yang menyebarkan islam di daerah lembah Palu. Beliau dating dari Minangkabau pada tahun yang nyaris bersamaan dengan kedatangan Datuk Ribandang di Sulawesi Selatan pada tahun 1603 M.

Problem diskontinuitas sejarah dalam historiografi Islam di Sulawesi Tengah semakin jelas terlihat khususnya jika kita memperhatikan selisih tahun kedatangan antara Datokarama dan Guru Tua yang terpaut lebih dari tiga abad. Dari selisih ini, dan mengingat tidak adanya penulisan sejarah yang mendalam mengenai perkembangan Islam pada masa di antara kedua tokoh tersebut, muncul hipotesis di sekitar kita bahwa perkembangan Islam di Sulawesi Tengah mengalami kevakuman pasca Datokarama, di mana kevakuman ini baru berakhir saat kedatangan Guru Tua di tahun 1929.

Tetapi jika kita melihat lebih seksama sumber-sumber sejarah tentang perkembangan Islam di Sulawesi Tengah, kita dapat melihat bahwa dalam periode antara Datokarama dan Guru Tua tersebut, Islam dikembangkan oleh para mubaligh maupun pedagang yang berasal dari Mandar, Bugis, dan Makassar seperti Pilewiti di Tojo dan Pue Bulangisi di Tawaeli. Kedatangan para mubaligh dan pedagang dari Mandar, Bugis dan Makassar ini merupakan awal periode Ideologis dalam perkembangan Islam di Sulawesi Tengah. Sampai saat ini, kita masih melihat pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat islam Sulawesi Tengah seperti, model mengaji huruf ugi, barasanji, dan yang utama adalah eksistensi kebudayaan “selatan” yang mengalami akulturasi dengan budaya Sulawesi Tengah.

Sulawesi Tengah masih menyimpan banyak misteri sejarah yang sampai saat ini belum terungkap dengan jelas. Hal ini menjadi tugas para akademisi terutama sejarawan dan mahasiswa sejarah untuk menuliskannya sebagai sebuah upaya menjadikan masyarakat Sulawesi Tengah sadar dan peduli dengan sejarah lokalnya. Tetapi melestarikan sejarah melalui penulisan sejarah tidaklah cukup. Perlu ada peran serta masyarakat dalam melestarikan sejarah lokal Sulawesi tengah melalui oral tradition (tradisi bertutur) yang sudah semakin hilang dan perlunya sejarah lokal Sulawesi Tengah dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dasar sebagai upaya pengenalan sejak dini terhadap sejarah lokal Sulawesi Tengah sehingga generasi muda Sulawesi Tengah tidak menjadi generasi yang “amnesia sejarah”

Referensi :
http://wa-iki.blogspot.com/2010/11/melihat-jejak-sejarah-islam-di-lembah.html
http://jefriantogie.blogspot.com/2012/12/proses-masuknya-islam-di-sulawesi.html
http://edywicaksono.info/index.php?option=com_content&view=article&id=89:sejarah-masuknya-islam-di-sulawesi-tengah&catid=58:sejarah&Itemid=79

No comments:

Post a Comment