Tuesday, March 24, 2015

Sejarah Perkembangan Islam di Inggris

mesjid di inggris - perkembangan islam inggrisIslam mulai tersentuh di Inggris sekitar abad 16 namun mulai berkembang sekitar abad 18. Awal masuknya islam ke Inggris berawal dari imigran dari Yaman, Gujarrat, dan negara timur tengah lainnya. Setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 dan sejalan dengan meluasnya ekspansi kolonial Inggris, para pendatang muslim itu semakin lama semakin banyak dan mulai membentuk pemukiman baru di kota-kota pelabuhan seperti Cardiff Shout Shields (Dekat Newcastle), London, dan Liverpool. Lama kelamaan umat muslim yang berada di inggris membuat masjid untuk beribadah mereka, walaupun hanya beberapa masjid yang baru di bangun. Umat muslim yang berada di inggris juga banyak melakukan kegiatan sosial dan partisipasinya di dalam universitas yang ada di inggris.

Organisasi-organisasi islam juga mereka ciptakan di negri inggris, diantaranya organisasi jamaat al-islam, The Muslim Brotherhood, The Union of Muslim Organization, The Federation of Student Islamic Societis (FOSIS) dan masih banyak lagi.

Sejarah Masuk islam abad 16 – 17 di Inggris

Pada abad XVI-XVII kekuatan armada laut Muslim sangat mendominasi laut Mediterranean. Ekspansi Muslim telah mencapai Istanbul sebagai pusat imperium Turki Usmani, Aleppo sebagai jalur penting yang dilalui silk roat, Beirut  sebagai pelabuhan besar yang disinggahi kapal-kapal Eropa, Jerusalem sebagai kota yang banyak diminati para peziarah; Cairo sebagai kota pusat perdagangan; dan Fez sebagai kota yang sangat maju dan terkenal pada saat itu. Ketika armada Spanyol dipandang sebagau ancaman yang menghantui Inggris, Ratu Elizabeth pada pertengahan tahun 1580 tidak ragu-ragu untuk meminta Sultan Murad (penguasa Turki Usmani) membantu armada laut Inggris melawan orang-orang Spanyol. Ketimbang dengan negara-negara Eropa, Inggris lebih menyukai menjalin hubungan perdagangan secara luas dengan negeri-negeri Muslim.

Orang Inggris yang pertama kali memeluk Islam yang namanya tetap bertahan dalam catatan sumber-sumber literatur Inggris seperti The Voyage Made to Tripoli (1583) adalah John Nelson. Ia adalah putera perwira rendah anggota pasukan pengawal Ratu Inggris.

Pada tahun 1636 telah dibuka jurusan bahasa Arab pada Universitas Oxford. Dan diketahui bahwa Raja Inggris Charles I telah mengoleksi manuskrip-manuskrip yang berbahasa Arab dan Persia. Perpustakaan Bodleian di Oxford memiliki manuskrip surat al-Walid (Sultan Maroko) yang ditujukan kepada Raja Charles I.

Kekacauan perang sipil mungkin menjadi pendorong beberapa orang Inggris untuk memutus hubungan tradisi yang baik, sehingga sebuah catatan yang dibuat tahun 1641 dengan mengacu kepada sebutan “sebuah sekte penganut Muhammad” (a sect of Mahomatens) dinyatakan “telah ditemukan di sini, di London”. Pada sekitar tahun 1646 Raja Charles diasingkan ke Oxford setelah dikepung oleng angkatan bersenjata pimpinan Cromwell. Pertempuran terburuk pecah dan berakhir pada kekalahan pasukan yang setia kepada raja. Pada bulan Desember 1648, Dewan Mechanics dari New Commonwealth menyuarakan sebuah toleransi bagi berbagai kelompok agama termasuk Muslim. Setahun kemudian, 1649, terjadi even penting dalam perjalanan sejarah Muslim di Inggris di mana  Al-Quran untuk pertama kalinya diterjemahkan di Inggris oleh Alexander Ross dan kemudian dicetak. Pencetakan itu sampai menghasilkan edisi kedua. Fakta ini membuktikan bahwa terjemahan al-Quran mengalami jangkauan sirkulasi yang luas di kalangan masyarakat Inggris.

Ketika Cromwell menjadi penguasa tunggal Inggris di tahun 1649, acuan kepada Islam dan kaum Muslim menjadi bagian dari diskusi yang menggejala pada saat itu. Musuh-musuh Cromwell menyerang kaum revolusioner karena mereka tidak menaruh respek kepada para pendeta dan menolak ajaran dan pendapat resmi petinggi Gereja Anglikan. Musuh-musuh Cromwell mencemooh dengan mengatakan, “Sungguh, jika pengikut-pengikut Kristiani mau bahkan rajin membaca dan mengamati hukum dan sejarah Muhammad, mereka boleh jadi merasa malu ketika melihat betapa tekun dan bersemangat para pengikut Muhammad dalam mengerjakan ketaatan kewajiban, kesalehan dan amal ibadah; betapa tulus ikhlas, suci dan takzimnya di dalam masjid, begitu taat kepada para ulama mereka. Bahkan orang Turki terhormat sekalipun tidak akan mencoba melakukan sesuatu tanpa berkonsultasi dengan muftinya.” Kaum revolusioner dikritik karena mereka hanya mengikuti otoritas-otoritas keagamaan  yang dideklarasikan oleh mereka sendiri. Sementara, sultan sekalipun sangat memperhatikan nasihat-nasihat mufti dalam persoalan keagamaan. Penulis-penulis lain yang tidak menaruh simpati kepada revolusi Cromwell membandingkan para profesor agama orang-orang Turki dengan kaum puritan Cromwell. Dan layak diketahui bahwa di kalangan orang dekat Cromwell terdapat orang-orang hebat seperti Henry Stubbe, sarjana ahli bahasa Latin, Yunani, dan Hebrew, dan terdapat pula sahabat Cromwell yang lain, Pocock, seorang profesor yang ahli bahasa Arab di Oxford.
Cromwell dan sekretarisnya, John Milton, menunjukkan keakrabannya kepada al-Quran. Hal itu tergambar dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada penguasa Muslim Al-Jazair di bulan Juni 1656. Dalam suratnya Cromwell menyatakan: “Cromwell mengharapkan pihak yang dikirimi surat  agar mematuhi persetujuan dagang antara kedua negara karena tabaiat agama Islam adalah ‘kami sekarang, pada saat ini, merasa perlu untuk menyukai Anda yang telah memaklumkan diri Anda sendiri sampai saat ini dalam segala hal untuk menjadi orang yang mencintai kebenaran, membenci kebatilan, mematuhi amanah dalam perjanjian.’ Kata-kata terakhir menegaskan deskripsi yang tepat mengenai Islam sebagai sebuah agama yang mengajak kepada kebenaran dan menanggalkan perbuatan batil.” Cromwell banyak mengutip teks-teks al-Quran dalam berkomunikasi melalui surat. Tidak hanya ditujukan kepada kaum Muslim di seberang lautan, tetapi juga orang-orang Kristen yang tinggal di England dan kepulauan Inggris selebihnya.

Ilmuwan dari Universitas Cambridge, Isaac Newton, tercatat sebagai orang sangat dipengaruhi oleh pemikiran sarjana Muslim Arab. Pada tahun 1674, dengan penuh resiko dan keberanian menolak untuk berpegang pada ajaran suci trinitas. Michael White, penulis biografi Newton menyatakan, Newton secara fanatik menentang konsep trinitas.

Pada abad XVII teks-teks berbahasa Arab dalam bidang matematika, astronomi, kimia dan kedokteran merupakan tema sentral bagi program pendidikan yang lebih tinggi di Inggris. Untuk memperoleh akses kepada pengetahuan lebih lanjut pada saat itu, bukan hanya penerjemahan yang dimulai di Oxford dan Cambridge, tetapi juga persiapan untuk melatih sebuah generasi sarjana yang ahli berbahasa Arab. Seorang pengunjung di Westminster School mencatat dalam buku hariannya, “Saya mendengar dan melihat sejenis latihan pada pemilihan para sarjana di Westminster School untuk dikirim ke Universitas, baik yang berbahasa Latin, Yunani, Hebrew maupun Arab.

Kemampuan linguistik sangat penting karena menurut Isaac Borrow, profesor matematika Cambridge, penguasaan bahasa Arab perlu untuk penguasaan lebih lanjut pengetahuan-pengetahuan tersebut. Para tokoh intelektual Muslim yang kenamaan dikenal dengan nama-nama mereka yang sudah “berbau” Inggris: Alfarabi, Algazel, Abensina, Abenrusd, Abulfeda, Abdiphaker, Almanzor, Alhazen. Water Salmon termasuk di antara mereka yang menyusun ilmu fisika praktis (1692) dari ‘Geber Arab’, atau ahli kimia, Jabir bin Hayyan. Robert Boyle  (ahli kimia yang dikenal oleh setiap siswa sekolah) mempelajari sains dari literatur berbahasa Arab dengan tujuan agar mampu menghadapi tantangan dari konsepsi tradisional dalam pengetahuan kontemporer. Newton mewariskan lebih dari sejuta kata dalam subyek kimia dengan kata-kata asli berbahasa Arab.

Sejarah Peradaban Islam Mulai Abad 18

Imigrasi muslim ke Inggris mulai berlangsung pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 melalui pendaratan para pelaut yang direkrut oleh East India Company (Perusahaan India Timur) dari Yaman, dan  Gujarrat. 

Saat awal imigran muslim India dan Pakistan menetap di Inggris,pengaruh warisan kultural kerajaan dan struktur politik Negara setempat yang saling mendukung memperkuat dorongan Negara komunalisme. Selama hampir satu abad, umat islam harus belajar hidup dengan status minoritas dan jauh dari kekuasan politik di anak benua India, masyarakat inggris pasca perang memberi ruang  bagi identitas kebangsaan yang paralel.

Setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 dan sejalan dengan meluasnya ekspansi kolonial Inggris, para pendatang muslim itu semakin lama semakin banyak dan mulai membentuk pemukiman baru di kota-kota pelabuhan seperti Cardiff Shout Shields (Dekat Newcastle), London, dan Liverpool. Komunitas muslim di negara itu memiliki akar budaya yang berbeda satu sama lain. M. Ali Kettani, dalam bukunya "Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini" mengatakan imigran pertama ke Inggris adalah orang Yaman dari Aden. Mereka menghimpun diri di Cardif dan di situ membangun salah satu masjid pertama di negeri itu pada tahun 1870. Sebelum pergantian abad, datang kelompok muslim lain dari India dan menetap di dekat London, di sana mereka membangun masjid Shah Jehan di Woking.

Sekitar abad ke-19, sejumlah pengusaha muslim juga  telah berniaga ke kerajaan Inggris. Salah satunya adalah perusahaan terkenal "Mohamed’s Baths” yang didirikan oleh Sake Deen Muhamed (1750-1851). Selain pekerja dan pedagang, pada akhir abad ke-19 mulai masuk juga kelompok intelektual ke Inggris. Hal ini terlihat tatkala pada periode antara 1893 hingga 1908, sebuah jurnal mingguan bernuansa Islami dengan nama "The Cresent", mulai disebarkan di Liverpool. Pendiri jurnal ini adalah seorang muslim keturunan bangsawan Inggris yang bernama William Henry Quilliam, yang ditengah komunitas muslim dikenal sebagai Syekh Abdullah Quilliam, yang berprofesi sebagai pengacara. Dia masuk Islam pada tahun 1887 setelah lama bermukim di Aljazair dan Maroko. william Henry Quilliam (Syekh Abdullah Quilliam) bahkan memelopori pembangunan sebuah masjid yang sangat aktif dan menjadi pusat dakwah di wilayah Inggris.

Di samping itu, pada tahun 1930-an, gagasan rencana pembangunan masjid pusat di London juga muncul sebagai respons atas pembangunan masjid di Paris pada tahun 1926 yangjuga mendapat perhatian dara Raja Goerge IV pada tahun 1944. Namun, berbagai kendala seperti terjadinya Perang Dunia II dan masalah yang dihadapi pemerintah lnggris akibat kemerdekaan India dan Pakistan, menyebabkan pembangunan masjid tertunda hingga tahun 1970-an. Baru pada tahun 1977, Masjid Pusat London dengan Islamic Cultural Center (Pusat Kebudayaan Islam)-nya akhirnya diresmikan  dan dewasa ini menjadi terkenal. Pertambahan jumlah masjid dalam perkembangan-perkembangan selanjutnya di Inggris sesungguhnya mencerminkan peningkatan jumlah komunitas muslim di Inggris. Peningkatan itu berhubungan erat dengan tahapan sejarah imigrasi kaum muslim secara besar-besaran dari berbagai negeri muslim ke Inggris tahun 1950-an, dan sebagai akibat penyatuan kembali keluarga imigran yang diterapkan awal tahun 1960-an, terutama dari India, Pakistan, dan Bangladesh. Selain itu, sehubungan dengan terbitnya "Commonwealth Immigration Act" (Undang-undang Imigrasi Persemakmuran), tahun 1962, yang semakin memberikan kemudahan untuk menjadi warga negara Inggris bagi warga negara bekas jajahan Inggris, juga turut mendorong laju migrasi ini.

Pola distribusi pemukiman muslim tidak merata, baik secara geografis maupun etnis. Kendati demikian, ada konsentrasi tertentu, misalnya penduduk muslim India di West Midlands, Arab dan Iran di Cardif Liverpool, dan Birmingham. Turki-Cyiprus di wilayah Timur London, serta Pakistan dan Bangladesh di Bradford. Begitu signifikannya komunitas muslim Pakistan dan Bangladesh itu di Bradford, sampai orang menyebutnya kota ini sebagai Islamabad-nya Inggris. Dari perspektif mazhab, muslim di Inggris mayoritas bermazhab Hanafi, sisanya Syaf i,  Ja'fari atau Ismaili.

Sumber referensi :
http://peradabanislaminggris.blogspot.com/2013/06/sejarah-peradaban-islam-di-negara.html

http://ilmu-ngawortepak.blogspot.com/2013/03/awal-masuk-dan-perkembangan-islam-di.html
http://www.referensimakalah.com/2011/08/perkembangan-islam-di-inggris-abad-xvi_2468.html

No comments:

Post a Comment