Monday, March 23, 2015

Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Kadriah - Pontianak Kalimantan Barat

sejarah kerajaan islam kesultanan kadriah
Sejarah Kisah Kerajaan Islam Kesultanan Kadriyah Pontianak Kalimantan Barat. Kali ini saya akan membahas mengenai salah satu kerajaan islam yang ada di Indonesia, yaitu kesultanan Kadriyah Pontianak Kalimantan Barat. Menurut Syarif Ibrahim Alqadrie, Kesultanan Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat adalah kesultanan termuda di nusantara, bahkan di dunia, karena kesultanan ini didirikan relatif paling terakhir dibandingkan dengan kemunculan kesultanan-kesultanan lainnya (Syarif Ibrahim Alqadrie, 1979:12). Pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi, kesultanan yang lahir dari perpaduan kebudayaan Arab, Melayu, Bugis, dan Dayak ini resmi didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alqadrie. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I). 

Sejarah Berdirinya Kesultanan Kadriyah

Syarif Abdurrahman Alkadrie adalah pendiri kesultanan Kadriah pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185H). Beliau adalah putra kedua ulama keturunan Arab Hadramaut Sayid Habib Husein Alqadrie dengan Nyai Tua dari Kerajaan Mempawah. Pendirian Kesultanan ini ditandai dengan dibukanya hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.

Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Kalimantan Barat

Sebelum mendirikan kesultanan Kadriah Syarif Abdurrahman Alqadrie tinggal di kerajaan Mempawa bersama Ayah Beliau yang pada waktu itu menjabat sebagai patih dan imam besar. Atas izin Opu Daeng Menambon Raja Kesultanan Mempawah, Husein Alqadrie menempati daerah Kuala Mempawah atau Galah Herang yang menjadi tempat di mana ia mengajarkan Islam. Untuk mempererat hubungan antara keluarga Husein Alqadrie dengan Kesultanan Mempawah, maka Syarif Abdurrahman Alqadrie dinikahkan dengan putri Opu Daeng Menambon dari Ratu Kesumba, bernama Putri Candramidi. Perkawinan ini dikaruniai tiga orang putra dan tiga orang putri (Muhammad Hidayat, tt: 21).

Pada tahun 1759 M, Abdurrahman Alqadrie mengadakan pelayaran ke beberapa tempat seperti ke Pulau Tambelan, Siantan, dan Siak. Selanjutnya, pada tahun 1765 M, ia berlayar menuju Palembang. Dua tahun kemudian, Abdurrahman Alqadrie melakukan perjalanan ke Banjarmasin dan menetap di Kesultanan Banjar. Pada tahun 1768, Abdurrahman Alqadrie menikah lagi dengan putri Sultan Banjar yang bernama Syarifah Anum dan mendapat gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam.

Ketika masih berada di Banjarmasin pada tahun 1766 M, Sultan Mempawah Opu Daeng Menambon meninggal dunia, kemudian disusul oleh sang ayah, Husein Alqadrie, yang menghembuskan nafas terakhir pada tahun 1770 M. Kehilangan dua orang yang sangat dihormati dan dibanggakan oleh Abdurrahman Alqadrie itu mendorongnya untuk mencari tempat permukiman baru.

Pada tahun 1771 M Syarif Abdurrahman Alqadrie melakukan pelayaran untuk mencari pemukiman baru. Beliau berlayar bersama lima putra Opu Daeng Menambon yaitu Panembahan Adijaya, Syarif Ahmad, Syarif Abubakar, Syarif Alwie, dan Syarif Muhammad. Setelah 4 hari perjalanan, mereka tiba di sebuah pulau kecil bernama Batu Layang yang terletak 15 kilometer dari muara Sungai Kapuas. Dari sini, rombongan meneruskan perjalanan hingga mendekati simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Berdasarkan cerita yang diyakini masyarakat lokal di sana, di tempat inilah rombongan Abdurrahman Alqadrie berperang melawan “makhluk halus” yang oleh warga setempat disebut dengan nama hantu “kuntilanak”.

Menurut pandangan Jimmy Ibrahim (1971), nama “kuntilanak” tersebut hanya merupakan kiasan untuk menjelaskan bahwa pengganggu rombongan Abdurrahman Alqadrie itu adalah gerombolan perompak/bajak laut yang biasa bersembunyi di persimpangan yang menjorok ke arah Sungai Landak sebelum melakukan aksinya (Jimmy Ibrahim, 1971:17). Pada akhirnya nanti, nama “kuntilanak” lambat-laun menjadi “Pontianak” yang tidak lain adalah nama kota di seberang Istana Kadriah.

Tanggal 23 Oktober 1771 M, rombongan Abdurrahman Alqadrie berhasil memukul mundur gerombolan perompak “kuntilanak” di muara Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Pada hari yang sama, rombongan Abdurrahman Alqadrie berlabuh di tepian Sungai Kapuas dan membangun surau yang kelak menjadi Masjid Jami’, masjid agung Kesultanan Kadriah Pontianak. Kemudian, rombongan Abdurrahman Alqadrie mulai mempersiapkan permukiman di sebuah tempat yang menjorok ke darat sekitar 800 meter dari surau. Permukiman inilah yang menjadi tempat dibangunnya Istana Kesultanan Kadriah Pontianak. Meski sudah merintis pendirian pemerintahan Kadriah Pontianak sejak tahun 1771 M, namun baru pada tahun 1778 M Abdurrahman Alqadrie secara resmi dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie yang berkuasa sampai tahun 1808 M.

Baca Juga : Sejarah Perkembangan Islam di Pulau Kalimantan

Kesultanan Kadriah Pada Masa Kolonial Belanda

Penobatan Abdurrahman Alqadrie sebagai Sultan Kadriah Pontianak pada tahun 1778 M dilakukan oleh Sultan Raja Haji, penguasa Kesultanan Riau, dan dihadiri oleh para pemimpin dari sejumlah kerajaan, termasuk dari Kerajaan Matan, Sukadana, Kubu, Simpang, Landak, Mempawah, Sambas, dan Banjar. Abdurrahman Alqadrie memang memiliki kedekatan hubungan dengan keluarga Kesultanan Riau. Abdurrahman Alqadrie adalah menantu Opu Daeng Manambon (Sultan Mempawah), sedangkan Sultan Raja Haji adalah putra Daeng Celak yang tidak lain adalah saudara sekandung Opu Daeng Manambon.

Pada akhir tahun 1778 M, dari Batavia, VOC mengutus Nicholas de Cloek ke Pontianak untuk merangkul Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, tetapi usaha pertama ini gagal. Selanjutnya, pada bulan Juli 1779 M, VOC mengirim Willem Adriaan Palm (Komisaris VOC) ke Pontianak. Dengan alasan mendirikan perwakilan dagang, VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Kadriah Pontianak. Palm kemudian digantikan Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779 – 1784 M) dengan kedudukan di Pontianak. Semula, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.

Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Kepresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak.

Setelah VOC diterima sebagai rekan, disinilah VOC Mewujudkan misinya dengan memecah belah persatuan di antara kerajaan kerajaan yang bersekutu dengan Kesultanan Kadriah. VOC berhasil membujuk Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie untuk melakukan ekspansi ke wilayah kerajaan-kerajaan yang semula menjadi sekutu Kesultanan Kadriah Pontianak. Dengan bantuan VOC, pada tahun 1786 M, armada Kesultanan Kadriah Pontianak menyerang Kesultanan Tanjungpura di Sukadana. Kemudian, pada tahun 1787 M, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie berhasil menaklukan Kesultanan Mempawah. Oleh VOC, putra sulung Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie dari Putri Candramidi, Syarif Kasim Alqadrie, diangkat sebagai Panembahan Mempawah (Hidayat, tt:22). Pengangkatan yang tidak disetujui oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie ini diresmikan berdasarkan perjanjian tertanggal 27 Agustus 1787.

Syarif Kasim Alqadrie semakin terpengaruh oleh Belanda sampai ketika ayahnya wafat pada tahun 1808. Sebelum meninggal, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie sebenarnya telah menetapkan putranya yang lain, Syarif Usman Alqadrie, sebagai penerus tahta Kesultanan Kadriah Pontianak. Dikarenakan Syarif Usman masih kecil, maka Syarif Kasim merasa berhak menduduki singgasana sebagai pengganti ayahnya. Pada tahun 1808 itu, Syarif Kasim diangkat menjadi Sultan Kadriah Pontianak namun dengan kesepakatan bahwa ia hanya menjabat selama sepuluh tahun sambil menunggu Syarif Usman beranjak dewasa. Perjanjian itu diingkari karena pada kenyataannya Syarif Kasim berkuasa sampai akhir hayatnya, yakni hingga tahun 1819.

Ketika Sultan Syarif Kasim Alqadrie 1808 – 1819) naik tahta menggantikan Syarif Abdurahman Alqadrie, ia harus menandatangani kontrak politik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tanggal 12 Januari 1819. Isi dari kontrak politik antara Sultan Syarif Kasim Alqadrie dan Komisaris Nahuys van Burgst dari pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda itu antara lain:

1. Kekuasaan atas pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak dilaksanakan oleh Sultan bersama-sama dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Sultan Kadriah Pontianak akan mendapatkan perlindungan seperlunya dari Belanda.

2. Sebagai biaya perlindungan dari Belanda kepada Sultan maka ditetapkan bahwa semua penghasilan Kesultanan Kadriah Pontianak dan Belanda dibagi sama rata di antara kedua belah pihak tersebut.

3. Hasil pajak impor dan ekspor, penjualan candu, hasil monopoli garam, pajak dari kaum Tionghoa, dan lain-lain akan diatur oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

4. Pengadilan untuk orang Eropa dan Tionghoa ada di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda, sedangkan pengadilan untuk orang pribumi tetap berada di bawah Sultan.

5. Belanda berhak membangun tangsi tentara untuk melindungi pasukan Belanda yang ada di Pontianak.

Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim Alqadrie (1808 – 1819), Kesultanan Kadriah Pontianak semakin tergantung kepada pihak-pihak asing, yakni Belanda dan kemudian Inggris yang berkuasa di Hindia (Indonesia) sejak tahun 1811. Ketika Belanda kembali menguasai nusantara, termasuk Pontianak, Sultan Syarif Kasim Alqadrie memperkenankan Gubernur Jenderal Hindia Belanda LPJ Burggraaf du Bus de Gisignies (1826-1830) mendirikan sebuah benteng Belanda di Pontianak yang diberi nama Marianne’s Oord, yakni nama putri Raja Negeri Belanda, Raja Willem I. Inilah asal-muasal nama kampung Mariana yang terletak di depan pelabuhan Pontianak sekarang. Benteng Marianne’s Oord kemudian menjadi markas tentara Belanda dan sering disebut sebagai Benteng du Bus.

Pada tanggal 25 Februari 1819 Sultan Syarif Kasim Alqadrie wafat dan dikebumikan di Batu Layang. Terjadi ketegangan perihal siapa yang berhak menjadi Sultan Kadriah Pontianak selanjutnya. Di satu pihak, Syarif Usman Alqadrie dianggap paling layak menduduki tahta Kesultanan Kadriah Pontianak. Namun di sisi lain, putra Sultan Syarif Kasim Alqadrie yang bernama Syarif Abubakar Alqadrie juga menginginkan singgasana tersebut. Di sinilah campur tangan Belanda kembali berperan. Sesuai kesepakatan sebelum Sultan Syarif Kasim Alqadrie dinobatkan, Belanda kemudian menunjuk Syarif Usman Alqadrie sebagai Sultan Kadriah Pontianak ketiga. Untuk meminimalisir konflik, Belanda memberi gelar Syarif Abubakar Alqadrie sebagai Pangeran Muda dan kepadanya diberi tunjangan 6000 gulden setiap tahun.

Sultan Syarif Usman Alqadrie pernah membuat beberapa kebijakan yang bermanfaat, termasuk dengan meneruskan pembangunan Masjid Jami’ pada tahun 1821 dan memulai pendirian Istana Kadriah pada tahun 1855. Pada bulan April 1855, Sultan Syarif Usman Alqadrie meletakkan jabatannya sebagai Sultan Kadriah Pontianak dan kemudian wafat pada tahun 1860 dengan meninggalkan 6 orang istri dan 22 orang anak.
Sepeninggalan Sultan Syarif Usman Alqadrie Kesultanan Kadriah diteruskan oleh anak tertua Sultan Syarif Usman Alqadrie, bernama Syarif Hamid Alqadrie, beliau dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak yang keempat pada tanggal 12 April 1855. Pada era Sultan Syarif Hamid Alqadrie (1855 – 1872), wilayah Belanda di daerah kekuasaan Kesultanan Kadriah Pontianak semakin meluas, termasuk di daerah bagian barat Sungai Kapuas Kecil yang menjadi pusat perdagangan dan pusat pemerintahan Belanda di Kalimantan Barat. Taktik Belanda yang seperti ini sudah dimulai sejak era Sultan Syarif Kasim Alqadrie sebagai upaya untuk terus menekan Kesultanan Kadriah Pontianak dan mengecilkan peran Sultan Hamid Alqadrie (Alqadrie, 2005, dalam. Sultan Syarif Hamid Alqadrie wafat pada tahun 1872, meninggalkan 3 orang istri, 3 orang selir, dan 20 orang anak.

Putra tertua Sultan Syarif Hamid Alqadrie, Syarif Yusuf Alqadrie, diangkat sebagai Sultan Kadriah Pontianak beberapa bulan setelah ayahandanya wafat. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak kelima, Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895), merupakan satu-satunya sultan di Kesultanan Qadriah yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan, sangat kuat berpegang pada aturan agama dan merangkap sebagai penyebar islam.

Era pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie berakhir pada tanggal 15 Maret 1895 dan digantikan oleh putranya yang bernama Syarif Muhammad Alqadrie (1895 – 1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak yang kelima pada tanggal 6 Agustus 1895. Pada masa ini, campur-tangan Belanda dalam urusan internal Kesultanan Kadriah Pontianak semakin kuat dengan ikut memaksakan pengaruhnya bahkan sampai dalam hal yang prinsip, yakni menghapuskan Syariat Islam dan menggantinya dengan hukum pidana dan perdata (Hidayat, tt:23).

Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Banten

Kesultanan Kadriah Pada Masa Kolonial Jepang

Pemerintahan Sultan Syarif Muhammad mulai mundur seiring kedatangan bala tentara Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun 1942. Pada 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan Kesultanan Pontianak dan beberapa kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat.

Pihak Jepang sebenarnya sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat terdapat komplotan-komplotan yang terdiri atas kaum cendikiawan, para bangsawan, raja, sultan, tokoh masyarakat, orang-orang Tionghoa, dan para pejabat. Sehingga pada September 1943 dan awal 1944 jepang menghancurkan mereka dengan penangkapan-penangkapan. Tak hanya melakukan penangkapan-penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan penduduk Pontianak dan sekitarnya. Pada 28 Juni 1944, Jepang menghabisi Sultan Syarif Muhammad beserta beberapa anggota keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, para cendekiawan, dan tokoh masyarakat Pontianak. Nasib sama juga menimpa para raja dan sultan lain serta masyarakat di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-mena Jepang inilah yang menjadi faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.

Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada di Pontianak. Saat itu ia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas pada 1945.

Kesultanan Kadriah Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI

Ketika Indonesia telah mengalahkan penjajahan jepang dan proklamasi kemerdekaan Indonesia telah diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, namun situasi politik di Pontianak masih belum stabil karena berita tentang kemerdekaan Indonesia sangat terlambat sampai ke Pontianak. Pada tanggal 29 Agustus 1945, di bawah pengawasan aparat Jepang yang masih bertahan di Pontianak, keluarga Kesultanan Kadriah Pontianak yang tersisa mengadakan pertemuan guna memilih pengganti Sultan Syarif Muhammad Alqadrie. Pertemuan darurat ini akhirnya memutuskan bahwa Syarif Thaha Alqadrie, cucu laki-laki tertua Sultan Syarif Muhammad Alqadrie, ditetapkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak yang ketujuh.
Masa pemerintahan Sultan Syarif Thaha Alqadrie hanya berlangsung selama bulan Agustus hingga Oktober 1945, karena Syarif Hamid Alqadrie putra dari Sultan Syarif Muhammad sudah bebas dari penjara dan kembali ke Pontianak. Syarif Hamid Alqadrie dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak kedelapan pada tanggal 29 Oktober 1945 dan bergelar Sultan Syarif Hamid II Alqadrie atau yang sering dikenal dengan nama Sultan Hamid II.

Semasa muda, Syarif Hamid Alqadrie ini telah mengenal pendidikan modern. Beliau menempuh sekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS) Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. Kemudian meneruskan studi ke sekolah menengah Hogeere Burger School (HBS) di Bandung sebelum pergi ke Breda, Belanda, untuk melanjutkan pendidikan di sekolah perwira KNIL. Pada tahun 1937, ia dilantik sebagai perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua. Dalam karir kemiliterannya, Syarif Hamid Alqadrie pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan dan beberapa tempat lainnya di Jawa (Rahman, 2000: 172).
Berdasarkan konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949, Sultan Hamid II mengisi posisi sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Selain itu, Sultan Hamid II selalu terlibat dalam berbagai perundingan penting antara Indonesia dan Belanda. Ketika RIS dibentuk, Sultan Hamid II diangkat menjadi Menteri Negara dan selama masa jabatan itu, ia menjadi salah satu orang yang ditugaskan Presiden Soekarno untuk merancang gambar lambang negara. Presiden Soekarno mengamanatkan bahwa lambang negara hendaknya mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara, di mana sila-sila Pancasila divisualisasikan dalam lambang Negara.

Pada tanggal 5 Januari 1950, Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai Sultan Kadriah Pontianak dan selaku Wakil DKIB. Selanjutnya, pada tanggal 10 Januari 1950, dibentuk Panitia Lencana Negara yang bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara. Dalam seleksi tersebut, terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Pemenangnya adalah karya Sultan Hamid II karena karya Yamin menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh Jepang. Dengan demikian, Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara Indonesia adalah karya putra Kesultanan Kadriah Pontianak, yaitu Sultan Hamid II.

Namun, peristiwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dimotori mantan Kapten KNIL, Raymond Westerling, pada tanggal 23 Januari 1950, menyeret nama Sultan Hamid II. Menurut pernyataan Yayasan Sultan Hamid II Jakarta, Westerling memang sempat menawarkan kepada Sultan Hamid II untuk mengambil-alih komando namun Sultan Hamid II menolak tegas tawaran tersebut karena Westerling adalah gembong APRA (Yayasan Sultan Hamid II Jakarta, 2007, dalam www.istanakadriah.blogspot.com). Namun, dugaan keterlibatan Sultan Hamid II dalam peristiwa Westerling tetap membuatnya dipenjara oleh pemerintah RI selama 10 tahun sejak tahun 1953. Sultan Hamid II ditangkap pada tanggal 5 April 1950.
Dengan dihukumnya Sultan Hamid II, roda pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak pun berhenti di mana kesultanan sudah tidak mempunyai kekuasaan secara politik lagi. Sultan Hamid II selaku Sultan Kadriah Pontianak yang terakhir, meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batu Layang.

Setelah Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978, terjadi kekosongan jabatan sultan di keluarga Kesultanan Paontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung selama 25 tahun. Namun pada 15 Januari 2004, pihak bangsawan Istana Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 29 Januari 2001 seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriah Kesultanan Pontianak. Kerabat Muda ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya Melayu Pontianak, termasuk menghidupkan dan melestarikannya.

Daftar Sultan Kesultanan Kadriah Pontianak

Sultan-Sultan Kadriah Pontianak
No
Sultan
Masa pemerintahan
1
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie bin Habib Husein Alkadrie
1 September 1778 – 28 Februari 1808
2
Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
28 Februari 1808 – 25 Februari 1819
3
Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
25 Februari 1819 – 12 April 1855
4
Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie
12 April 1855 – 22 Agustus 1872
5
Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie
22 Agustus 1872 – 15 Maret 1895
6
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie
15 Maret 1895 – 24 Juni 1944
*
Interregnum
24 Juni 1944 – 29 Oktober 1945
7
Mayjen KNIL Sultan Hamid II (Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie)
29 Oktober 1945 – 30 Maret 1978
*
Interregnum
30 Maret 1978 – 15 Januari 2004
8
Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie
15 Januari 2004 – Sekarang

Sistem Pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak

Sistem pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak selalu bergantung pada kebijakan Belanda karena Belanda sudah menanamkan pengaruhnya tidak lama setelah Kesultanan Kadriah Pontianak berdiri pada tahun 1771 M. Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda menjadikan salah satu daerah Kesultanan Kadriah Pontianak, yakni Tanah Seribu atau Verkendepaal yang terletak di seberang Istana Kadriah Pontianak, sebagai pusat kedudukan Kepala Daerah Karesidenan Borneo. Selaku wakil pemerintah kolonial yang membawahi langsung beberapa daerah, termasuk Pontianak, Siantan, Sungai Kakap, dan lain-lain, Asisten Residen Pontianak (semacam Kepala Daerah Tingkat II/Bupati Pontianak). Sistem pemerintahan seperti ini bertahan hingga pada masa pendudukan Jepang. Dan pada setiap pergantian kepemimpinan kesultanan, Belanda selalu memaksakan kehendaknya melalui kontrak politik.

Sultan Kadriah Pontianak berikutnya, yakni Sultan Syarif Usman Alqadrie (1819 – 1855), melakukan perjanjian dengan pemerintah kolonial pada tahun 1819, 1822, dan 1823. Pada perjanjian tanggal 16 Maret 1822, misalnya, Belanda memaksakan bahwa penghasilan Kesultanan Kadriah Pontianak harus dibagi dua dengan pemerintah kolonial. Di sisi lain, kesultanan tidak lagi mendapatkan setengah dari penghasilan Belanda, namun hanya diberi tunjangan sebesar 42.000 gulden setiap tahun. Selain itu, dalam perjanjian tanggal 14 Oktober 1823 disebutkan bahwa kekuasaan pengadilan Belanda diperluas mencakup pengadilan untuk rakyat Kesultanan Kadriah Pontianak (Rahman, 2000:117-118). Aturan ini berlaku hingga masa pemerintahan Sultan Hamid Alqadrie (1855 – 1872).

Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895), Belanda memperbaharui kontrak politiknya pada tanggal 22 Agustus 1872, yang antara lain menyatakan bahwa kekuasaan kepolisian terhadap penduduk pribumi di luar kuasa Belanda diserahkan lagi kepada Kesultanan Kadriah Pontianak. Selain itu, kesultanan boleh memungut pajak di wilayahnya. Pengembalian kekuasaan kepolisian itu disebabkan karena penduduk pribumi hanya mau tunduk dan mentaati kekuasaan kesultanan. Demikian pula dengan penyerahan hasil pajak kepada kesultanan yang hanya didasarkan atas pertimbangan teknis untuk kepentingan Belanda karena bagaimanapun juga hasil pajak tetap dibagi dua dengan Belanda.

Hegemoni Belanda berlanjut pada era Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (1895 –1944), di mana terdapat aturan baru yang antara lain menyebutkan bahwa :

(1) Belanda berhak ikut-campur dalam hal pengangkatan dan pemberhentian pegawai kesultanan;

(2) Syariat Islam dihapuskan sebagai sumber hukum di Kesultanan Kadriah Pontianak dan diganti dengan hukum perdata dan hukum pidana; serta

(3) Seluruh pegawai kesultanan mendapat gaji dari pemerintah kolonial. Dengan demikian, Belanda telah menguasai sistem pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak. Seluruh pegawai kesultanan dianggap sebagai pegawai pemerintah kolonial, termasuk Sultan Syarif Muhammad sendiri.

Setelah Indonesia merdeka, meski Kesultanan Kadriah Pontianak masih tetap eksis di bawah pimpinan Sultan Hamid II, terjadi perubahan sistem pemerintahan Kota Pontianak. Pada tanggal 14 Agustus 1946, dinyatakan bahwa Platselijk Fonds yang diterapkan sejak tahun 1779, diganti dengan Stadsgemeente (semacam swapraja) yang bertahan sampai tahun 1950. Pada tanggal 5 Januari 1950, Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai Sultan Kadriah Pontianak dan pada 5 April 1950 ia ditangkap karena diduga terlibat dalam kudeta Westerling. Setelah Sultan Hamid dihukum penjara sejak tahun 1953, riwayat Kesultanan Kadriah Pontianak pun berakhir.

Sejak tahun 1950, status Stadsgemeente Pontianak berubah menjadi Pemerintah Daerah Kota Besar Pontianak yang dipimpin oleh walikota dan bersifat otonom. Selanjutnya, sesuai dengan perkembangan tata pemerintahan, maka dengan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953, bentuk pemerintahan Kota Besar Pontianak ditingkatkan menjadi Kotapraja Pontianak. Pemerintahan Kota Praja Pontianak berubah lagi menjadi Kotamadya Pontianak sejak tahun 1965 dan akhirnya menjadi Daerah Tingkat II Pontianak berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1974. Sampai sekarang, Daerah Tingkat II Pontianak termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat.

Wilayah Kekuasaan Kesultanan Kadriah

Pada tanggal 23 Oktober 1771 M, Abdurrahman Alqadrie berlabuh di tepian Sungai Kapuas dan membangun surau yang kelak menjadi Masjid Jami’ Syarif Abdurrahman Alqadrie. Selanjutnya, Abdurrahman Alqadrie mempersiapkan permukiman yang letaknya menjorok ke darat sekitar 800 meter dari surau. Permukiman itulah yang kemudian menjadi wilayah pusat pemerintahan Kesultanan Kadriah.
Setelah resmi menjadi Sultan Kadriah Pontianak pada tahun 1778 M, Abdurrahman Alqadrie melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya dan berhasil menduduki wilayah Kerajaan Sanggau sekaligus menguasai jalur perdagangan ke pedalaman Sungai Kapuas. Sebagai legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Abdurrahman Alqadrie mendirikan benteng yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi, yang merupakan pulau milik Kerajaan Sanggau. Selain itu, dalam kontrak politik antara Kesultanan Kadriah Pontianak dan Belanda tanggal 5 Juli 1779, pihak Belanda menyebut bahwa Pontianak dan Sanggau sebagai satu kerajaan di bawah Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie.

Kemudian, karena dipengaruhi oleh tekanan Belanda, Kesultanan Kadriah Pontianak kembali melancarkan ekspansi ke sejumlah kerajaan di Kalimantan Barat untuk semakin memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1786 M, Kesultanan Kadriah Pontianak menyerang Kesultanan Tanjungpura di Sukadana. Kemudian, tahun 1787 M, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie berhasil menaklukkan Kesultanan Mempawah (Rahman, 2000:109-110). Dengan demikian, daerah-daerah yang semula termasuk ke dalam wilayah Kesultanan Tanjungpura dan Mempawah beralih-tangan menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Kadriah Pontianak.

Sementara itu, pada masa pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895), wilayah Kesultanan Kadriah Pontianak banyak didatangi kaum imigran dari berbagai tempat. Misalnya orang-orang Bugis dari Sulawesi yang menetap di kawasan Pantai Jungkat dan Petani untuk bertani atau menjadi nelayan, sehingga sampai sekarang terdapat daerah yang disebut Kampung Dalam Bugis di Pontianak bagian timur. Selain para imigran dari Bugis, banyak pula imigran dari Banjar, Bangka Belitung, Serasan, Tambelan, Sampit, bahkan dari Malaka, Kamboja, dan Vietnam, yang datang kemudian bermukim di wilayah Kesultanan Kadriah Pontianak. Maka kemudian di Pontianak terdapat Kampung Banjar, Kampung Bangka Belitung, Kampung Serasan, Kampung Tambelan, Kampung Sampit, juga Kampung Saigon.

Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie juga diwarnai dengan perjanjian mengenai batas-batas wilayah antara Kesultanan Kadriah Pontianak dan Kesultanan Landak, yakni kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 3 Agustus 1886. Perbatasan yang ditegaskan dalam sebuah peta tersebut menyatakan bahwa perbatasan Kesultanan Kadriah Pontianak dan Kesultanan Landak dimulai dari Bukit Batu, kemudian ke Kubu Sengkubu dan Kuala Keramas, melintasi Kuala Terap hingga ke Hulu Sungai Menuntung, dan berakhir di Gunung Banua atau Gunung Ambawang.

Sumber referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Pontianak
http://melayuonline.com/ind/history/dig/386/kesultanan-kadriah-pontianak

No comments:

Post a Comment