Tuesday, April 28, 2015

Jadwal Buka Puasa / Imsakiyah 1435 H / 2014 M

Jadual Buka Puasa ( Imsakiyah) per hari di seluruh daerah di Indonesia. Tidak terasa sekarang kita telah memasuki bulan Ramadhan 1435 H, bulan yang penuh dengan limpahan rahmat Allah SWT. Bulan dengan banyak keistimewaan dan Bulan menuju kemenangan. Dalam kesempatan ini admin mengucapkan marhaban ya ramadhan mohon maaf lahir batin.

Untuk membantu kita mengetahui jadwal imsak dan jadwal berbuka puasa harian, kali ini admin akan share jadwal buka puasa untuk seluruh wilayah Indonesia, tinggal menentukan daerah ataupun kota tujuan. berikut jadwal imsakiyah tahun 1435 H / 2014 M berdasarkan web rukyatulhilal.org

Baca Juga : Jadwal Imsakiyah Buka Puasa Untuk Daerah Jakarta dan Sekitarnya

Berhubung rukyatulhilal sudah tidak dapat di akses, untuk mengetahui jadwal imsakiyah dapat melihatnya di web resmi kementerian agama. Klik DISINI



Sedangkan jadwal buka puasa / imsakiyah menurut kementrian agama ( departemen agama ) tahun 2014 dapat dilihat DISINI

semoga bermanfaat.

Sunday, April 26, 2015

Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Asahan Sumatera Utara

lambang kesultanan asahan
Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Asahan. Kesultanan Asahan berdiri tahun 1630 di wilayah yang sekarang menjadi Kota Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu, dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Kesultanan ini ditundukkan Belanda pada tahun 1865. Kerajaan ini melebur ke dalam negara Indonesia pada tahun 1946.

Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Hussein Syah (1813 – 1854) dan anaknya, Sultan Ahmad Syah, Asahan merupakan kerajaan yang disegani di daerah antara Serdang dan Siak dan mempunyai pengaruh besar di Batu Bara, Bilah dan Panai. Di masa inilah terjadi pertembungan antara Belanda, Inggris dan Aceh di Asahan karena Belanda dan Inggris masing-masing bersaing untuk meluaskan kekuasaan penjajahan dan perdagangan mereka di pesisir timur Sumtera sementara Aceh pun berkeras mempertahankan kedaulatannya di Asahan.

Raja Abdul Jalil, Sultan pertama Asahan merupakan putra Sultan Iskandar Muda. Asahan menjadi bawahan Aceh sampai awal abad ke-19.

Sejarah Pendirian

Perjalanan Sultan Aceh, Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Malaka tahun 1612 dapat dikatakan sebagai awal dari sejarah Asahan. Dalam perjalanan tersebut, rombongan Sultan Iskandar Muda beristirahat di kawasan sebuah hulu sungai yang kemudian dinamakan Asahan. Perjalanan dilanjutkan ke sebuah "Tanjung" yang merupakan pertemuan antara sungai Asahan dengan sungai Silau, kemudian bertemu dengan Raja Simargolang. Di tempat itu juga Sultan Iskandar Muda mendirikan sebuah pelataran sebagai "Balai" untuk tempat menghadap, yang kemudian berkembang menjadi perkampungan. Perkembangan daerah ini cukup pesat sebagai pusat pertemuan perdagangan dari Aceh dan Malaka, sekarang ini dikenal dengan "Tanjung Balai".

Mengikut tradisi setempat, Kesultanan Asahan bermula kira-kira pada abad XVI, yaitu ada saat Sultan Abdul Jalil ditabalkan sebagai Sultan Asahan yang pertama dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Ayahnya ialah Sultan Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat (Sultan Alaiddin Riayat Syah “Al Qahhar”), Sultan Aceh ke XIII yang memerintah sejak tahun 1537 – 1568, sementara ibunya adalah Siti Ungu Selendang Bulan, anak dari Raja Pinang Awan yang bergelar “Marhum Mangkat di Jambu”. (Pinang Awan terletak di Kabupaten Labuhan Batu). Sebelumnya, Aceh telah menaklukkan negeri-neeri kecil di pesisir Sumatera Utara dan di dalam salah satu pertempuran inilah Raja Pinang Awan terbunuh dan anaknya Siti Ungu dibawa ke Aceh dan menikah dengan Sultan Alaiddin.

Sultan-sultan Asahan berikutnya adalah Sultan Saidisyah, Sultan Muhammad Rumsyah, Sultan Abdul Jalil Syah II (mangkat 1765), Sultan Dewa Syah (1756 – 1805) dan Sultan Musa Syah (1805 – 1808) masing-masing memindahkan pusat pemerintahan negeri Asahan dari satu tempat ke tempat lain.

Setelah kemangkatan Sultan Asahan VII, Sultan Muhammad Ali Syah (1808 – 1813), terjadi perebutan kuasa di antara anaknya, Raja Hussein dengan pihak anak saudaranya, Raja Muhammad Ishak. Sebagai penyelesaian, Raja Muhammad Ishak diangkat menjadi Yang Dipertuan Negeri Kualuh yang sebelum ini adalah sebagian dari wilayah Asahan. Raja Hussein sendiri diangkat menjadi Sultan Asahan dengan gelar Sultan Muhammad Hussein Syah.

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Langkat Sumatera Utara

Sultan Pertama

Dari hasil perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan Siti Ungu Selendang Bulan, anak dari Raja Pinang Awan yang bergelar “Marhum Mangkat di Jambu” lahirlah seorang putera yang bernama Abdul Jalil yang menjadi cikal bakal dari kesultanan Asahan. Abdul Jalil dinobatkan menjadi Sultan Asahan I. Pemerintahan kesultanan Asahan dimulai tahun 1630 yaitu sejak dilantiknya Sultan Asahan yang I s/d XI.

Asahan adalah kerajaan kecil yang menjadi bawahan Aceh, maka secara otomatis, struktur kekuasaan tertinggi berada di tangan Sultan Aceh. Di daerah Asahan sendiri, terlepas dari relasinya dengan Aceh, kekuasaan tertinggi berada di tangan Sultan, yang bergelar Yang Dipertuan Besar/Sri Paduka Raja. Jabatan yang lebih rendah adalah Yang Dipertuan Muda. Untuk daerah Kawasan Batubara dan kawasan yang lebih kecil, pemerintahan dijalankan oleh para datuk.

Penjajahan Belanda

Tuntutan Belanda terhadap negeri-negeri di Pesisir Timur termasuk Asahan adalah berdasarkan Perjanjian Siak yang ditandatangani oleh Belanda dengan Kesultanan Siak pada 1 Februari 1858. Berdasarkan perjanjian itu, Siak diserahkan kepada Belanda termasuk daerah taklukannya seperti Asahan, Batu Bara, Serdang, Deli, Langkat dan Tamiang. Berdasar sejarah, hak Siak atas kerajaan-kerajaan ini adalah berdasarkan penyerangannya pada tahun 1791. Tetapi kenyataannya adalah kekuasaan Siak hanya sebatas nama saja dan tidak diakui oleh banyak pihak. Di masa yang sama, negeri-negeri ini mempunyai hubungan perdagangan yang erat dengan Pelabuhan Inggris di Pulau Pinang di mana nilai ekspor lada, rotan dan barang lain dari Sumatera bernilai 150.000 Poundsterling pertahun.

Pada saat Elisa Netscher dilantik sebagai Residen Belanda di Riau pada tahun 1861, Beliau menghantar seorang pembesar Minangkabau, Raja Burhanuddin, ke negeri-negeri ini untuk menilai keadaan. Beliau melaporkan kepada Netscher bahwa tidak ada kerajaan yang mau mengakui kedaulatan Siak. Deli, Serdang dan Langkat masih di bawah pengaruh Aceh tetapi bersedia menerima perlindungan Belanda. Hanya Asahan dan negeri di bawah pengaruhnya: Batu Bara, Panai dan Bilah, yang tidak mau berhubungan dengan Siak dan Belanda.

Pada Agustus 1862, Netscher dan Pembantu Residen Belanda di Siak, Arnold, diiringi oleh pembesar-pembesar Siak mengunjungi negeri-negeri yang terlibat. Walaupun mengalami beberapa kesulitan, Netscher berhasil menundukkan Panai, Bilah, Kota Pinang, Serdang, Deli dan Langkat di bawah kekuasaan Belanda. Hanya Asahan saja yang tidak bersedia tunduk, bahkan di pantai Asahan dikibarkan bendera Inggris.
Tindakan Belanda ini mendapat tantangan yang keras dari pedagang-pedagang Inggris di Pulau Pinang karena ia menggugat hubungan perdagangan di antara Pulau Pinang dengan negeri-negeri tersebut. Sebelumnya Sultan Asahan dan Raja Muda Asahan telah memberitahu Gubernur negeri-negeri Selat, yaitu Kolonel Cavenagh, perihal niat Belanda. Major Man, Resident Councillor di Pulau Pinang, kemudian dikirim ke Deli, Serdang dan Langkat untuk mengawasi keadaan.

Sultan Ibrahim, Aceh, turut menentang tindakan Belanda ini. Dari kacamata Aceh, seluruh pesisir timur Sumatera sampai ke Panai dan Bilah adalah daerah takluknya. Justru itu, angkatan perang Aceh dikirim ke Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara dan Asahan. Di Asahan dan Serdang angkatan perang Aceh disambut dengan baik. Sebagai balasan, pada tahun 1865, Belanda mengiri angkatan perangnya untuk menyerang Asahan, Serdang, Tamiang dan Batu Bara. Saat pasukan Belanda tiba di Asahan, Sultan Ahmadsyah dan adik-adiknya, Tengku Muhammad Adil dan Tengku Pengeran Besar Muda, mundur ke daerah pedalaman.

Pada tanggal 12 September 1865, kesultanan Asahan berhasil dikuasai Belanda. Sejak itu, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Belanda. Kekuasaan pemerintahan Belanda di Asahan/Tanjung Balai dipimpin oleh seorang Kontroler, yang diperkuat dengan Gouverments Besluit tanggal 30 September 1867, Nomor 2 tentang pembentukan Afdeling Asahan yang berkedudukan di Tanjung Balai dan pembagian wilayah pemerintahan dibagi menjadi tiga, yaitu:

  1. Onder Afdeling Batubara
  2. Onder Afdeling Asahan
  3. Onder Afdeling Labuhan Batu

Netscher kemudian mengangkat Tengku Naamal Allah, Yang Dipertuan Negeri Kualuh, menjadi pemangku Sultan Asahan dan melantik seorang Contoleur Belanda sebagai penasehat. Sultan Ahmadsyah kemudian menyerah namun kaum Batak di pedalaman meneruskan perjuangan menentang Belanda. Pada tahun itu juga, Sultan Ahmadsyah diasingkan Belanda ke Riau bersama adiknya, Tengku Muhammad Adil. Tengku Pengeran Besar Muda di asingkan ke Ambon. Pada tahun 1868, Tengku Naamal Allah dilantik menjadi Pemangku Sultan karena kaum Batak tidak mau menokong pemerintahannya dan menuntut kepulangan Sultan Ahmad Syah.

Pak Netak, Raja Bandar Pulau di Hulu Asahan, mati semasa menentang Belanda pada tahun 1870. Perjuangan secara gerilya diteruskan, terutama pada tahun 1879 dan 1883. Dari tahun 1868 sampai dengan 1886 Asahan diletakkan Netscher di bawah pentadbiran empat orang pembesar Melayu. Akhirnya, pada tahun 1885, Belanda mengizinkan Sultan Ahmadsyah pulang ke Asahan dengan syarat Beliau tidak boleh campur tangan mengenai politik. Beliau menandatangani perjanjian politik dengan Belanda (Akte Van Verband) pada 25 Maret 1886 di Bengkalis dan kembali memerintah Asahan pada 25 Maret 1886 sampai kemangkatannya pada 27 Juni 1888.

Di pihak Inggris, tantangan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di Pesisir Timur semakin lama semakin berkurang karena munculnya kekuatan-kekuatan besar yang baru seperti Perancis, Amerika Serikat, Jerman an Itali yang masing-masing tertarik pula dengan Asia Tenggara. Inggris memandang lebih baik bekerjasama dengan Belanda. Lagipula Belanda tengah melonggarkan dasar perdagangannya di Sumatera dan ini mendatangkan keuntungan kepada pedagang-pedagang Inggris di Pulau Pinang dan Singapura. Pada 2 Nopember 1871, Inggris menandatangani Perjanjian Sumatera dengan Belanda di mana antara lain Inggris membatalkan semua perlawanan terhadap Belanda di mana-mana daerah di Sumatera dan rakyat Inggris mempunyai hak berdagang yang sama dengan rakyat Belanda di Sumatera.

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Serdang Sumatera Utara

Sultan Asahan

Sultan terakhir Asahan lebih merupakan Kepala Keluarga dari kerabat kerajaan yang masih ada. Sultan Asahan I, Sultan Abdul Jalil, adalah putera Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh yang menikah dengan Siti Ungu Putri Berinai (Siti Unai), puteri Raja Halib (al-Marhum Mankat di-Jambu), dari Pinangawan.

Penabalan Sultan Abdul jalil sebagai raja pertama Kerajaan Asahan di Kampung Tanjung kemudian memulai sejarah pemerintahan Kerajaan Asahan pada tahun 1630. Dalam catatan sejarah, Kerajaan Asahan pernah diperintah oleh sebelas orang raja, sejak raja pertama Sultan Abdul Jalil pada tahun 1630 sampai dengan Sultan Syaiboen Abdul Jalil Rahmadsyah tahun 1933, yang kemudian mangkat pada tanggal 17 April 1980 di Medan dan dimakamkan di kompleks Mesjid Raya Tanjungbalai. Adapun urutan-urutan Sultan di Asahan tersebut adalah

  1. Sultan Abdul Jalil Rahmadsyah (1930-.......)
  2. Sultan Saidisyah (16...-17....)
  3. Sultan Muhammad Rumsyah (17...-1760)
  4. Sultan Abdul Jalil II (1960-1965)
  5. Sultan Dewasyah (1965-1805)
  6. Sultan Moesasyah (1805-1808)
  7. Sultan Alisyah (1808-1813)
  8. Sultan Muhammad Husinsyah (1813-1859)
  9. Sultan Ahmadsyah (1859-1888)
  10. Sultan Muhammad Husinsyah II (1888-1915)
  11. Sultan Syaiboen Abdul Jalil Rahmadsyah III (1933-1980)
  12. Sultan Kamal Abraham Abdul Jalil (1980-…)

Kehidupan Sosial Budaya

Sebagai kesultanan yang berada dalam pengaruh kebuadayaan Islam, maka di Asahan juga berkembang kehidupan keagamaan yang cukup baik. Bahkan, ada seorang ulama terkenal yang lahir dari Asahan, yaitu Syeikh Abdul Hamid. Ia lahir tahun 1880 (1298 H), dan wafat pada 18 Februari 1951 (10 Rabiul Awal 1370 H). Datuk, nenek dan ayahnya berasal dari Talu, Minangkabau. Syekh Abdul hamid belajar agama di Mekkah, karena itu, ia sangat disegani oleh para ulama zaman itu.

Dalam perkembangannya, murid-murid Syekh Abdul Hamid inilah yang kelak mendirikan organisasi Jamiyyatul Washliyyah. Sebuah organisasi yang berbasis pada aliran sunni dan mazhab Syafi'i. Dalam banyak hal, organisasi ini memiliki persamaan dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang didirikan oleh para ulama Minangkabau. Adanya banyak persamaan ini, karena memang para ulama tersebut saling bersahabat baik sejak mereka menuntut ilmu di Mekkah. Pandangan para tokoh agama ini sangat berbeda dengan paham reformis yang dibawa oleh para ulama muda Minangkabau, seperti Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Oleh sebab itu, sering terjadi polemik di antara para pengikut kedua paham yang berbeda ini.
Di paruh pertama abad ke-20, sekitar tahun 1916, di Asahan telah berdiri sebuah sekolah yang disebut Madrasah Ulumul Arabiyyah. Sebagai direktur pertama, ditunjuk Syekh Abdul Hamid. Dalam perjalanannya, madrasah Ulumul Arabiyah ini kemudian berkembang menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang penting di Asahan, bahkan termasuk di antara madrasah yang terkenal di Sumatera Utara, sebanding dengan Madrasah Islam Stabat, Langkat, Madrasah Islam Binjai dan Madrasah al-Hasaniyah Medan. Di antara ulama terkenal lulusan sekolah Asahan ini adalah Syeikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis (1908-1972).

Peninggalan tertulis warisan Kerajaan Asahan hanya berkaitan dengan buku-buku di bidang keagamaan yang dikarang oleh para ulama untuk kepentingan pengajaran. Berikut ini beberapa buah buku yang dikarang oleh Syeikh Abdul Hamid di Asahan, yaitu:
  1. Ad-Durusul Khulasiyah
  2. Al-Mathalibul Jamaliyah
  3. Al-Mamlakul `Arabiyah.
  4. Nujumul Ittiba.
  5. Tamyizut Taqlidi Minal Ittiba.
  6. Al-Ittiba.
  7. Al-Mufradat.
  8. Mi`rajun Nabi
Revolusi Sosial 1946 dan berakhirnya Kesultanan Asahan

Di dalam kemelut ini, keganasan dialihkan pula kepada golongan tradisional (Tengku dan Raja) yang selama ini dianggap oleh golongan petani sebagai pro Belanda dan pro kolonial. Kebencian rakyat semakin meluap karena kebanyakan raja-raja itu tidak memberikan sokongan kepada pergerakan pro Republik (kecuali Sultan Siak), ditambah lagi tersebar pula kabar bahwa raja-raja itu telah menghubungi Belanda dengan harapan dapat memulihkan kembali kedudukan mereka.

Pergerakan anti kaum bangsawan kian merebak dan pemimpin republik tidak berkuasa menahannya. Dalam pada itu, beberapa pemimpin politik yang opportunis, dua diantaranya adalah Karim Marah Sutan dan Luat Siregar dari Partai Komunis Indonesia, menggunakan pergerakan anti kaum bangsawan ini sebagai landasan untuk memperkuat landasan kekuatan politik mereka. Untuk mencapai tujuan ini, mereka membangkitkan sentimen rakyat sampai akhirnya tercetuslah Revolusi Sosial di mana Raja-raja dan keluarganya dibunuh beramai-ramai dengan kejam dan hartanya dirampas. Selain dari para bangsawan, para perusuh juga membunuh kalangan profesional yang berpendidikan barat, terutama mereka yang hidup mengkuti gaya hidup barat. Oleh karena itu, beberapa orang pro nasionalis dan keluarganya juga turut dibunuh.

Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda. Namun di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit.

Keganasan yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhan Batu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhan Batu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan sehingga tidak dapat dilindungi oleh pasukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) da Tengku Mustafa gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang).

Di Asahan, sebagian besar keluarga Raja dibunuh, namun Sultan Saibun selamat dan menyerahkan diri kepada Pemerintah Republik Indonesia di Pematang Siantar. Beliau mangkat di Medan pada 6 April 1980.

Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Asahan
http://bloggerasahan.blogspot.com/2009/08/inilah-sejarah-kesultanan-asahan-dari.html 
http://fsknsu.blogspot.com/p/sejarah-kesultanan-asahan.html

Saturday, April 25, 2015

Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Sumedang Larang Jawa Barat

Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Sumedang Larang Jawa Barat. Kerajaan Sumedang Larang merupakan salah satu kerajaan Islam yang ada di Indonesia. Berdirinya kerajaan diperkirakan sejak abad ke-16 Masehi di Jawa Barat. Kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan islam yang ada di jawa seperti demak, mataram banten dan Cirebon, namun keberadaannya merupakan bukti sejarah yang kuat pengaruhnya dalam penyebaran islam di jawa barat.


Sejarah

Awalnya kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh dan masih menganut ajaran agama Hindu. Kerajaan Sunda-Galuh didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.

Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Perubahan nama tersebut adalah :

1. Kerajaan Tembong Agung. Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur. Dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII.

2. Pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi HimbarBuana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi.

Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang kemudian berubah lagi menjadi Sumedang. Pendapat lain mengatakan bahwa kata Sumedang berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

Kerajaan Sumedang Larang yang kini sudah menjadi Kabupaten Sumedang merupakan salah satu kerajaan sunda seperti halnya Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu Kerajaan Sunda-Galuh, namun karena keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir akibat serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak. Sejak itulah, Kerajaan Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.

Pemerintahan berdaulat

Berikut nama Raja-raja Kerajaan Sumedang yang pernah memerintah

No.
Nama
Tahun
1
Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang
a
Prabu Guru Aji Putih
900
b
Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela
950
c
Prabu Gajah Agung
980
d
Sunan Guling
1000
e
Sunan Tuakan
1200
f
Nyi Mas Ratu Patuakan
1450
g
Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata
1530 - 1578
h
Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya
1578 - 1601
2
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II
a
R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I
1601 - 1625
b
Pangeran Rangga Gede
1625 - 1633
c
Pangeran Rangga Gempol II
1633 - 1656
d
Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III
1656 - 1706
3
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang
a
Dalem Tumenggung Tanumaja
1706 - 1709
b
Pangeran Karuhun
1709 - 1744
c
Dalem Istri Rajaningrat
1744 - 1759
d
Dalem Anom
1759 - 1761
e
Dalem Adipati Surianagara
1761 - 1765
f
Dalem Adipati Surialaga
1765 - 1773
g
Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang)
1773 - 1775
h
Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang)
1775 - 1789
i
Dalem Aria Sacapati
1789 - 1791
j
Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata
1791 - 1800
k
Bupati Republik Batavia Nederland
1800 - 1810
l
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte
1805 - 1810
m
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte
1810 - 1811
n
Bupati Masa Pemerintahan Inggris
1811 - 1815
o
Bupati Kerajaan Nederland
1815 - 1828
p
Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung
1828 - 1833
q
Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit
1833 - 1834
r
Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja
1834 - 1836
s
Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih
1836 - 1882
t
Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah
1882 - 1919
u
Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang
1919 - 1937
v
Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri
1937 - 1942
w
Bupati Masa Pemerintahan Jepang
1942 - 1945
x
Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia
1945 - 1946
4
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a
Raden Hasan Suria Sacakusumah
1946 - 1947
5
Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia
a
Raden Tumenggung M. Singer
1947 - 1949
6
Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan
a
Raden Hasan Suria Sacakusumah
1949 - 1950


Perkembangan Kerajaan Sumedang Larang Pada Masa Pemerintahan Raja-Raja Sumedang Larang

Masa pemerintahan Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)

Prabu Agung Resi Cakrabuana (Prabu Tajimalela) merupakan raja yang berperan penting dalam berdirinya kerajaan Sumedang. Pada awal berdirinya kerajaan ini bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau memiliki tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.

Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.

Masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri

Pada pertengahan abad ke-16 kerajaan Sumedang Larang mulai bercorak Islam. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang Larang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah menikahi Pangeran Kusumahdinata (1505-1579 M) lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

Pangeran Kusumahdinata merupakan putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon.  Juga adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda.

Berikut putra-putri Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri, yaitu :
  1. Pangeran Angkawijaya (yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
  2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
  3. Kiyai Demang Watang di Walakung.
  4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
  5. Santowaan Cikeruh.
  6. Santowaan Awiluar.
  7. Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

Masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) merupakan anak dari Pangeran Santri dan beliaulah yang menggantikan kekuasaan ayahnya. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota.

Wilayah kekuasaannya pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun meliputi :
  1. Kuningan
  2. Bandung
  3. Garut
  4. Tasik
  5. Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).

Kemajuan pesat kerajaan ini mengalami kemajuan pesat saat Prabu Geusan Ulun memerintah. Kemajuan tersebut mulai dari bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan.

Bergabungnya Kerajaan Pajajaran Galuh Pakun

Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan bergabung dengan kerajaan Sumedang larang  karena pada saat itu Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Pada saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten, akan tetapi mahkota kerajaan dapat diselamatkan. Dengan diberikannya mahkota kerajaan pajajaran tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali kecuali Cirebon dan Jayakarta, batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.

Bergabung menjadi bagian kesultanan Mataram

Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante).

Setelah mendalami agama Islam pesantren di Demak, dalam perjalanan pulang ke Sumedang Larang ia mampir ke Kerjaan Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon. Beliau disambut gembira karena mereka berdua masih dalam ikatan kekeluargaan karena sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.

Karena sikap dan perilakunya yang sangat baik dan wajah yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Dan ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri sehingga akhirnya Ratu Harisbaya ikut ke Sumedang Larang. Panembahan Ratu yang mengetahui kejadian tersebut marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang Larang.

Sultan Agung dari Mataram yang mengetahui konflik tersebut meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang Larang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.

Istri dan Anak Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri, istri-istri beliau adalah :
  1. Nyi Mas Cukang Gedeng Waru merupakan istri pertama adalah putri Sunan Pada
  2. Ratu Harisbaya dari Cirebon
  3. Nyi Mas Pasarean.

Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas putra-putri :
  1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
  2. Raden Aria Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi
  3. Kiyai Kadu Rangga Gede
  4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
  5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
  6. Raden Ngabehi Watang
  7. Nyi Mas Demang Cipaku
  8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
  9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
  10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
  11. Nyi Mas Rangga Pamade
  12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
  13. Rd. Suriadiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu
  14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
  15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
  16. Ketika beliau wafat pada tahun 1608, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I yang adalah putera angkat beliau menggantikan kepemimpinannya. Ia juga dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa.
  17. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir dari Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

Pemerintahan di bawah Mataram

Dipati Rangga Gempol

Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke SampangMadura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

Dipati Rangga Gede

Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Dipati Ukur

Pada Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia dengan bantuan pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa.

Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana.Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.

Ditengah peperangan melawan VOC, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.

Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.
Dalam ‘Negara Kerta Bhumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.

Dipati Ukur sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra.  Sebelum berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri tiba-tiba Bagus Sutapura pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang diutus oleh Tumenggung Narapaksa datang untuk menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya, dikabarkan pertempuran tersebut terjadi hingga 40 hari 40 malam. Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya.

Pembagian wilayah kerajaan

Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang setelah bebas dari tahanan. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian:
  1. Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
  2. Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
  3. Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.

Wilayah diatas tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wedana Bupati (kepala para bupati) Priangan.

Peninggalan budaya

Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun.

Sumber referensi :

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sumedang_Larang diakses tanggal 26 agustus 2014

Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Inderapura

sejarah kerajaan islam kesultanan inderapura
bendera inderapura
foto : wikipedia
Sejarah kerajaan Islam Kesultanan Inderapura. Kerajaan Inderapura terletak di wilayah kabupaten pesisir selatan provinsi sumatera barat dan berbatasan dengan provinsi Bengkulu dan Jambi. Kerajaan ini adalah salah satu kerajaan islam yang ada di pulau sumatera dan pernah menjadi bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung. Namun dalam pemerintahaannya kerajaan ini berdiri sendiri dan bebas mengatur urusan pemerintahannya.

Sejarah Pendirian

Nama Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Pernah berada dibawah pemerintahan Kesultanan Pagaruyung. Pada abad ke-15 ketika melemahnya kekuasaan pagaruyung, beberapa daerah pada kawasan pesisir Minangkabau seperti Inderagiri, Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri.
Inderapura mengalami perkembangan dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Sehingga arus perdagangan yang melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatera dan Selat Sunda.

Tidak diketahui kapan tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka. Namun diperkirakan, ini bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut. Pada pertengahan abad keenam belas didorong usaha penanaman lada batas selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di Provinsi Bengkulu). Pada masa ini Inderapura menjalin persahabatan dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Aceh.

Inderapura menjalin persahabatan dengan Aceh melalui ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura, dengan Sultan Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri'ayat Syah (1568-1575). Lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda Aceh), bahkan para hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri'ayat Syah, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Alam pada 1576. Walau kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum tersingkir dari tahtanya karena pertentangan dengan para ulama di Aceh.
Namun pengaruh Inderapura terus bertahan di Kesultanan Aceh, dari 1586 sampai 1588 salah seorang yang masih berkaitan dengan Raja Dewi, memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II atau Sultan Buyong, sebelum akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.

Perekonomian

Berdasarkan laporan sejarah Belanda, tahun 1616 Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang makmur dibawah pemerintahan Raja Itam, serta sekitar 30.000 rakyatnya terlibat dalam pertanian dan perkebunan yang mengandalkan komoditi beras dan lada. Selanjutnya pada masa Raja Besar sekitar tahun 1624, VOC berhasil membuat perjanjian dalam pengumpulan hasil pertanian tersebut langsung dimuat ke atas kapal tanpa mesti merapat dulu di pelabuhan, serta dibebaskan dari cukai pelabuhan. Begitu juga pada masa Raja Puti, pengganti Raja Besar, Inderapura tetap menerapkan pelabuhan bebas cukai dalam mendorong perekonomiannya.

Setelah ekspedisi penghukuman tahun 1633 oleh Kesultanan Aceh, sampai tahun 1637 Inderapura tetap tidak mampu mendongkrak hasil pertaniannya mencapai hasil yang telah diperoleh pada masa-masa sebelumnya. Di saat penurunan pengaruh Aceh, Sultan Muzzaffar Syah mulai melakukan konsolidasi kekuatan, yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sultan Muhammad Syah yang naik tahta sekitar tahun 1660 dan mulai kembali menjalin hubungan diplomatik dengan Belanda dan Inggris.

Lada dan Emas sebagai sumber konflik

Lada, rempah-rempah dan emas adalah hasil terbesar dan sumber kekayaan dan kesuksesan Indrapura. Tetapi oleh lada dan emas itu pulalah Indrapura jatuh dan tak sanggup berdiri lagi.
Indrapura di incar oleh para pemburu-pemburu emas dari Nusantara dan dari berbagai negeri. Bangsa Portugis dan Spanyol menjelajahi dunia untuk mencari emas, lalu mereka menelusuri pantai barat Sumatera mencari Pulau Emas itu disekitar Pulau Nias.

Penurunan

Di bawah Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh seraya memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung Malaya, dan juga berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai barat Sumatera. Kendali ketat para wakil Aceh (disebut sebagai panglima) di Tiku dan Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara. Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar, yang biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.

Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan penguasa Aceh yang mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum Inderapura. Raja Puti yang memerintah Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa bangsawan lainnya, dan banyak orang ditawan dan dibawa ke Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja menggantikan Raja Puti.

Di bawah pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani kendali Aceh melemah. Pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda (VOC). Dominasi VOC diawali ketika Sultan Muhammad Syah meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662. Pemberontakan ini dipicu oleh tuntutan Raja Adil yang merasa mempunyai hak atas tahta Inderapura berdasarkan sistem matrilineal. Akibatnya Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayah dan kerabatnya. Kemudian Sultan Mansur Syah, dikirim ke Batavia menanda-tangani perjanjian yang disepakati tahun 1663 dan memberikan VOC hak monopoli pembelian lada, dan hak pengerjaan tambang emas.Pada Oktober 1663 pemerintahan Inderapura kembali pulih, dan Sultan Inderapura mengakui Raja Adil sebagai wakilnya yang berkedudukan di Manjuto.

Pada masa Sultan Muhammad Syah, Inderapura dikunjungi oleh para pelaut Bugis yang dipimpin oleh Daeng Maruppa yang kemudian menikah dengan saudara perempuan Sultan Muhammad Syah, kemudian melahirkan Daeng Mabela yang bergelar Sultan Seian, berdasarkan catatan Inggris, Daeng Mabela pada tahun 1688 menjadi komandan pasukan Bugis untuk EIC.

Sultan Muhammad Syah digantikan oleh anaknya Sultan Mansur Syah (1691-1696), pada masa pemerintahannya muncul ketidakpuasan rakyat atas penerapan cukai yang tinggi serta dominasi monopoli dagang VOC kembali. Namun pada tahun 1696 Sultan Mansur Syah meninggal dunia dan digantikan oleh Raja Pesisir, yang baru berusia 6 tahun dan pemerintahannya berada dibawah perwalian neneknya. Puncak perlawanan rakyat Inderapura menyebabkan hancurnya pos VOC di Pulau Cingkuak, sebagai reaksi terhadap serbuan itu, tanggal 6 Juni 1701 VOC membalas dengan mengirim pasukan dan berhasil mengendalikan Inderapura.

Dan akhirnya pada tahun 1792 inderapura benar-benar runtuh ketika garnisun VOC di Air Haji menyerbu Inderapura karena pertengkaran komandannya dengan Sultan Inderapura, kemudian Sultan Inderapura mengungsi ke Bengkulu dan meninggal di sana (1824).

Sistem Pemerintahan

Inderapura pada awalnya adalah kawasan rantau dari Minangkabau, merupakan kawasan pesisir di pantai barat Pulau Sumatera. Sebagai kawasan rantau, Inderapura dipimpin oleh wakil yang ditunjuk dari Pagaruyung dan bergelar Raja kemudian juga bergelar Sultan. Raja Inderapura diidentifikasikan sebagai putra Raja Alam atau Yang Dipertuan Pagaruyung.

Kesultanan Indrapura memakai sistem kabinet parlementer, dipimpinan tertinggi Sultan (Raja), dilaksanakan oleh Perdana Mentri (Mangkubumi) dibantu Menteri Nan-20 dari para penghulu (6 di Hulu, 8 di tengah, 6 di Hilir). Raja-raja Kesultanan Indrapura banyak sekali, di antaranya keturunan asli Indrapura.

Wilayah kekuasaan

Pada akhir abad ke-17 pusat wilayah kekuasaan Inderapura, mencakup lembah sungai Airhaji dan Batang Inderapura yang terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri, yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya. Sementara pada daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai Negeri Empat Belas Koto), dan Muko-muko (Lima Koto), sistem pemerintahannya tidak jauh berbeda.

1. Kawasan utara
Wilayah kekuasan ini disebut dengan Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) yang dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang juga masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu.

2. Kawasan Selatan
Sistem pemerintahan yang terdiri dari desa-desa berada di bawah wewenang peroatin (kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara sungai). Peroatin ini pada awalnya berjumlah 59 orang (peroatin nan kurang satu enam puluh). Para menteri dan peroatin ini tunduk pada kekuasaan raja atau sultan.

Pada penghujung abad ke-17 para peroatin masih berfungsi sebagai kepala wilayah. Namun tugas-tugas menteri mulai bergeser seiring dengan proses terlepasnya Inderapura menjadi kerajaan terpisah dari Pagaruyung. Menteri Dua Puluh Koto di Inderapura bertindak sebagai penasihat kerajaan. Menteri Empat Belas Koto bertugas mengatur rumah tangga istana, sedangkan Menteri Lima Koto bertanggung jawab atas pertahanan.

Daftar Raja Inderapura

Berikut adalah daftar Raja Inderapura:

  1. Sultan Munawar Syah dengan gelar Raja Mamulia (1550)
  2. Raja Dewi nama lainnya adalah Putri Rekna Candra Dewi (1580)
  3. Raja Itam (1616)
  4. Raja Besar (1624)
  5. Raja Putri nama lainnya adalah Putri Rekna Alun (1625)
  6. Sultan Muzzaffar Syah dengan gelar Raja Malfarsyah (1633)
  7. Sultan Muhammad Syah dengan gelar Raja Adil (1660)
  8. Sultan Mansyur Syah dengan gelar Sultan Gulemat beliau adalah putra Raja Adil (1691)
  9. Raja Pesisir (1696)
  10. Raja Pesisir II (1760)
  11. Raja Pesisir III (1790)

Peninggalan Sejarah

Bukti sejarah kebesaran Kesultanan Indrapura, tercatat 218 situs dari 7000 situs di Sumatera Barat. 44 situs diakui Cagar Budaya dan dikukuhkan Mendikbud RI. Di antaranya : 
  1. Bekas istana Raja/ Sultan (1824),
  2. Bekas istana Regen di Pasar Minggu dekat peninggalan meriam R.Gil Pin FE CIT.J768,
  3. Rumah Mangkubumi (perdana menteri) Kesultanan,
  4. Rumah Gadang Mandeh Rubiyah di Lunang, berfungsi museum penyimpan benda-benda peninggalan Bundo Kandung seorang raja putri Kerajaan Minangkabau yang mengirap (berjalan punya etape tertentu) kembali ke Lunang dari Kerajaan Pagaruyung pasca kalah perang melawan raja Tamiai Tiang Bungkuk (1520). Diakui Mendiknas sebagai Museum Lokal Sumatera Barat di Pesisir Selatan. Juga berfungsi tempat kediaman Mandeh Rubiyah Rakina (keturunan ke-7 dari Bundo Kandung).
  5. Situs dalam bentuk arsitektur sakral (imarah diniyah) wujud Masjid Agung (1850) masa Regen ke-2 Marah Ripin.
  6. Gobah komplek pemakaman raja-raja Kesultanan Indrapura seluar 0,5 Ha. (6) Makam raja Tuanku Badarah Putih.
  7. Makam Bundo Kandung (Salareh Pinang Masak, raja perempuan Pagaruyung),
  8. Makam Dang Tuanku,
  9. Makam Puti Bungsu istri Dang Tuanku.
  10. Makam Cindur Mato raja dan tokoh legendaries Minang

Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Inderapura diakses tanggal 26 juli 2014
https://www.facebook.com/permalink.php?id=262528650500473&story_fbid=438095499610453 diakses tanggal 26 juli 2014

http://lubukgambir.wordpress.com/2011/12/16/kesultanan-inderapura-sejak-abad-9-m/ diakses tanggal 26 juli 2014